PSIKOLOGI LANSIA

Ibu-ibu PKK di dusun saya cukup aktif dalam melakukan berbagai kegiatan.  Ada senam, ada yoga, ada paduan suara, ada mekidung, ada menari. Ibu-ibu bisa memilih sendiri mau ikut kegiatan yang mana. Mau ikut semuanya juga boleh. Setiap kegiatan ada kordinatornya masing-masing. Tentu tak lepas dari peran Ibu Ketua yang luar biasa, Ibu Supri Martiningsih, selaku Ketua Tim Penggerak PKK di dusun kami.

Kemudian setiap sebulan sekali para ibu berkumpul dalam acara rapat rutin PKK yang dirangkai dengan arisan. Sebenarnya arisan itu hanya sarana. Tujuan sebenarnya adalah agar kami bisa berkumpul minimal sebulan sekali untuk lebih mempererat tali silaturahmi dengan sesama warga. Saya sendiri sebisa mungkin berusaha untuk selalu hadir kecuali ada acara lain yang lebih penting, misalnya ada upacara adat.

Nah, dalam acara kumpul sebulan sekali itu biasanya juga diisi acara khusus, bisa berupa sosialiasi sesuatu atau bisa juga bersifat penyuluhan. Untuk itu pengurus PKK akan mengundang seorang narasumber sesuai topik yang dibicarakan.  Bulan kemarin ini topik pembicaraanya adalah Mengenal Psikologi Lansia.

Narasumber kali ini seorang dosen Psikologi di Unud, yang memaparkan bagaimana cara menghadapi atau meladeni lansia. Yang utama adalah kita harus penuh kesabaran, ketelatenan dan keikhlasan dalam merawat lansia. Ingatlah, cepat atau lambat (kalau ada umur panjang) kita semua akan tiba pada masa lansia.

Salah satu pembahasannya adalah bagaimana para lansia sering sekali mengulang-ulang cerita lama, terutama kenangan-kenangan indah di masa mudanya. Di sini kita dituntut ekstra sabar untuk mendengarkan ceritanya yang mungkin saja membuat kita bosan karena sering diulang-ulang.

Sampai di sini saya tersenyum sendiri karena teringat dengan orangtua saya yang mirip sekali seperti yang diceritakan oleh narasumber. Orangtua saya sudah termasuk golongan “Lansia Risti” yaitu golongan lanjut usia risiko tinggi.  Yang membuat saya tersenyum dalam hati tadi adalah, pada saat saya berkunjung ke rumah ortu, lalu ketika saya bercerita sesuatu, sedang seru-serunya, entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja ibu saya mendapat celah untuk mengambil alih obrolan sehingga situasi jadi terbalik: beliaulah yang akhirnya bercerita banyak dan cerita saya terputus begitu saja. 😀

Dan, kalau beliau sudah bercerita akan susah berhenti. Menceritakan kisah masa remaja, masa sekolah selama tinggal di asrama putri (beliau dulu sekolah guru dan tinggal di asrama), bercerita bagaimana ketatnya peraturan di asrama, bagaimana beliau disayang oleh guru-gurunya, bagaimana beliau pernah menjadi “Putri” di sekolahnya. Ternyata zaman dulu sudah ada putri-putrian juga. Dan masih banyak lagi. Pada akhirnya, saya pun jadi pendengar saja. Pendengar yang sabar. Ternyata memang demikian.

Kemudian narasumber melanjutkan bahwa di situlah dituntut kesabaran kita untuk menjadi pendengar yang baik dan berusahalah menyenangkan hatinya di sisa-sisa usianya. Justru kita harus bersyukur, amat bersyukur karena dengan mereka berbicara banyak tentang masa lalunya, itu berarti mereka masih sehat, pikiran dan daya ingatnya masih cukup kuat.

Bayangkan kalau mereka hanya diam sepanjang hari, tidak mau berbicara atau malas berbicara, kita patut khawatir karena bisa jadi itu tanda-tanda awal Alzheimer. Kalau mereka sampai terkena Alzheimer, kita akan lebih susah lagi merawatnya. Berat, sangat berat. Karena itu, ladenilah ketika ortu kita bercerita. Mereka hanya ingin didengar dengan penuh perhatian sehingga mereka merasa diperhatikan dan dihargai keberadaannya. Jangan sampai mereka merasa tidak diinginkan. Begitu pesan sang narasumber.

Yah, begitulah. Semua akan mengalami siklus kehidupan tersebut.  Cepat atau lambat. Masih banyak hal-hal lain berkaitan dengan psikologi Lansia yang disampaikan oleh narasumber. Kapan-kapan saya akan tulis lagi. Ini sudah cukup panjang,  jangan sampai tulisan saya mengalahkan panjangnya surat kabar. Hahaha. (Sudah ada lho yang bilang begitu). 😛