“Ya, sudah… ngga usah beragama saja…”
Kejadian ini terjadi hampir sebulan lalu. Tapi setiap teringat, saya tak bisa menahan tawa, atau senyum-senyum sendiri. Tak peduli tempat, entah di jalan, di dapur, di kamar mandi, di depan komputer, tawa saya bisa spontan meledak. Merasa sangat lucu.
Sore itu saya menjemput anak kuliah. Biasanya dia pulang sama temannya. Tapi karena hari itu saya mau ajak dia ke Dalung, ke rumah orang tua saya, jadi saya yang menjemputnya dan selanjutnya akan langsung meluncur ke Dalung. Sambil menunggu, saya membaca novel (kebiasaan saya, ke mana pun pergi, selalu ada sebuah buku/novel dalam tas).
Ketika sedang asyik membaca, HP saya berdering. Dari editor saya. Setelah berbasa-basi sejenak terjadi percakapan berikut.
+ “Mbak, gimana terjemahannya?”
– “Saya sedang menyelesaikan novel yang dari penerbit G.”
+ “Oh, yang itu belum selesai?”
– “Belum, Mas. Ada beberapa kendala kemarin yang membuat saya agak lambat kerjanya.”
+ “Kendala apa?”
– “Kena beberapa hari raya yang berurutan, sehingga hari kerja saya kurang efektif.”
+ “Hari raya apa? Hari raya agama?”
– “Iya, dalam bulan yang sama kena Nyepi, Galungan, lanjut Kuningan dan Odalan juga di rumah di kampung. Belum lagi upacara pernikahan ponakan saya.”
+ “Oh, jadi hari raya agama itu membuat Mbak agak lambat kerjanya?”
– “Iya.”
+ “Kalau gitu, besok-besok ngga usah beragama saja, supaya kerjaannya tidak terganggu.”
Sedetik saya terdiam, sebelum akhirnya tawa saya meledak tak tertahankan, terpingkal-pingkal sampai tidak bisa bicara. Di seberang sana sang editor ikut tertawa.
+ “Lho, iya kan, supaya tidak menghambat kerjaan?” (suaranya terdengar stay cool).
Saya masih berusaha meredakan tawa. Tidak, saya tidak marah atau tersinggung dengan ucapannya. Tidak sama sekali. Saya tahu persis beliau bukan orang yang rasis. Tapi kalau sedikit jahil dan suka becanda, iya.
Memang sebelumnya saya sempat bilang bahwa novel yang sedang saya kerjakan saat itu, secara teori, akan selesai pada minggu ketiga bulan April. Setelah jeda sejenak, awal Mei mestinya saya mulai bisa menggarap novel dari beliau. Tetapi, untuk menjaga segala kemungkinan, saya tetap bilang tidak berani janji bisa mulai menggarap novelnya tepat di bulan Mei. Janji saya, paling lambat Juni pasti bisa mulai. Beliau tidak mempermasalahkan karena jadwal terbitnya masih cukup jauh.
Tentu tidak salah beliau ngomong demikian, karena saya yang memulai, mengatakan pekerjaan menerjemah terhambat karena kena beberapa hari raya. Lho, bukannya dari jauh-jauh hari sudah tahu akan ada hari raya besar? Tentu saja saya tahu, makanya saya minta tenggat waktu yang cukup panjang. Tapi tetap saja omongannya itu membuat saya ngakak.
+ “Tapi saya kagum banget lho, orang Bali tidak pernah kehabisan uang untuk membeli janur. Ada begitu banyak hari raya.”
– “Iya iya, kami memang tidak bisa dipisahkan dengan janur.” (masih tertawa).
Sepanjang perjalanan pulang, saya masih cengar-cengir sendiri. Anak saya, setelah saya ceritakan kejadiannya juga ketawa ngakak berkepanjangan. Memang lucu sih. 😀
*Selalu dapat alasan untuk ngakak* 😛