Workshop Penerjemahan Sastra
Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) Komda Bali mengadakan Workshop Penerjemahan Sastra yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Juni 2014, bertempat di gedung IALF Sesetan, Denpasar. Sebagai seorang penerjemah buku/novel, sungguh saya merasa amat beruntung bisa hadir dan menyerap banyak ilmu di acara ini.
NARASUMBER
Workshop dipandu oleh Mas Arif Bagus Prasetyo yang seorang kurator seni rupa, kritikus seni rupa, kritikus sastra dan penerjemah buku. Rekam jejak dan pengalamannya di bidang sastra tak usah diragukan lagi.
Pada 1999 mengikuti writing program Majelis Sastra Asia Tenggara untuk bidang esai. Pada 2002 mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat, dan memperoleh sertifikat “Honorary Fellow in Writing”.
Tulisannya dipublikasikan di berbagai media-massa, seperti Jurnal Kebudayaan Kalam, Majalah Sastra Horison, majalah Seni Rupa Visual Arts, Majalah Tempo, Koran Tempo, Media Indonesia, Kompas, Republika, Asian Art News (Hong Kong), Perisa (Malaysia), Bahana (Brunei) dan Iowa Review (Amerika Serikat). Juga dipresentasikan di berbagai acara sastra dan seminar seni-budaya di dalam dan luar negeri.
Sering menjadi fasilitator/tutor berbagai lokakarya penulisan dan penerjemahan, antara lain: Lokakarya Penulisan Esai, Majelis Sastra Asia Tenggara, Bogor (2009); Lokakarya Penerjemahan Sastra di Erasmus Huis, Jakarta (2012); Lokakarya Penerjemahan Sastra di Universitas Kristen Atmajaya, Jakarta (2013); dan Lokakarya Penulisan Seni Rupa di Bentara Budaya Bali, Bali (2014). (*)
MATERI
Saya mencoba menuliskan atau meringkas apa saja yang dibahas dalam acara ini. Sebagai pendahuluan, narasumber mengatakan proses penerjemahan sastra merupakan proses yang cukup rumit. Dikatakan hasil terjemahan bisa jadi “menyiksa” pembacanya apabila:
1. Penerjemah tidak menguasai bahasa sumber dengan baik
2. Penerjemah menguasai bahasa sumber tapi tidak terampil berbahasa Indonesia.
3. Penerjemah menguasai bahasa sumber tapi kelewat terpesona kepada teks sumber yang membuatnya terlalu setia pada teks sumber. Hal ini mengakibatkan hasil terjemahan terasa kaku, tidak alami dan sangat terasa sebagai sebuah terjemahan.
Walaupun penerjemah harus menguasai bahasa sumber dan bahasa target sama baiknya, tetapi dalam penerjemahan sastra kompetensi linguistik saja tidaklah cukup. Karena penerjemahan tidak hanya melibatkan pengetahuan linguistik, namun juga melibatkan ekstralinguistik dan ensiklopedik. Itulah sebabnya penerjemah harus memiliki sedikitnya tiga kapasitas lain yaitu:
1. Kekaguman yang sungguh-sungguh kepada karya yang akan diterjemahkan. Kalau tidak, penerjemah akan sulit memiliki kesabaran atau wawasan mendalam yang dibutuhkan untuk menghasilkan terjemahan yang memadai.
2. Respek terhadap isi teks agar penerjemah tak gampang sembrono atau semena-mena mengubah kandungan pesannya.
3. Kemampuan mengekspresikan kreativitasnya sendiri melalui kreasi yang lain.
Penerjemahan adalah suatu seni. Karena itulah, seorang penerjemah sastra dituntut untuk memiliki kepekaan estetis, yang harus mempertimbangkan greget, emosi dan rasa suatu karya dalam versi bahasa aslinya. Juga memerhatikan bentuk estetis yang dipakai oleh pengarang dan setiap informasi yang terkandung dalam pesan. Singkatnya, selain kompetensi linguistik, seorang penerjemah sastra juga harus memiliki kompetensi literer.
Disinggung juga bahwa penerjemahan adalah sebentuk “pengkhianatan.” Hal ini bisa dimengerti karena mustahil bagi penerjemah untuk setia seratus perses kepada intensi dan ekspresi pengarang asli. Walau demikian, seandainya pun tak bisa lepas dari khianat, hendaknya pengkhianatan yang dilakukan harus terukur dan terkendali dengan ketat agar tak merosot jadi penipuan belaka. Karena itu, sebagai penerjemah, sebaiknya kita menghindari modifikasi suara pengarang secara berlebihan, misalnya, terlalu menyederhanakan ungkapan atau menambahkan penjelasan yang tidak perlu.
CONTOH TEKS
Dalam workshop penerjemahan ini, setiap peserta diberikan materi (cuplikan) novel dalam bahasa Inggris yang harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kemudian dikirimkan kembali kepada panitia untuk dibahas saat acara.
Cuplikan materi teks diambil dari novel Soledad’s Sister karya Jose Dalisay, penulis dari Filipina. Para peserta diminta menerjemahkan dua halaman dari novel tersebut. Terjemahan inilah yang kemudian dibahas bersama.
Alinea pertama sebagai berikut:
On a cloud-curtained evening, one Saturday in August, a corpse arrived in a zinc casket in a wooden crate at Ninoy Aquino Intemational Airport, 237 kilometers west of Paez.
Banyak yang menerjemahkan “evening” menjadi “malam” dan itu memang tidak salah kalau saja tidak ada kalimat berikutnya yang berbunyi:
The cargo manifest put the dead woman’s name down as “Cabahug, Aurora V.” At 18.34 hours, just as the city’s drivers began switching their headlights on and a million gas stoves roared to life, Aurora V. Cabahug’s flight rejoined the eanh, although the woman herself did not, just yet; she lay deep in the Gulf Air 747’s cargo bay where it was coldest, a bulkhead away from the tiger orchids and the apricots.
Di situ jelas tercantum kejadian tersebut terjadi pada pukul 18.34, yang artinya, saat itu belumlah malam, tetapi masih senja. Menurut narasumber, hal yang tampaknya sepele ini tidak bisa dianggap sepele. Artinya, sebagai penerjemah kita harus berusaha memerhatikan teks sumber dengan saksama.
Narasumber juga menekankan, sebelum memulai menerjemahkan sebaiknya kita memahami dulu isi sebuah novel dan sifat novel tersebut. Hal ini sangat penting karena itu akan memengaruhi kita dalam pemilihan diksi.
Pembahasan hari itu benar-benar menambah wawasan para peserta, khususnya saya. Banyak pengetahuan yang bisa saya serap untuk bekal saat menerjemah. Saat istirahat, seorang teman yang penerjemah dokumen berkata pada saya, “Ya, ampun, susah amat jadi penerjemah sastra ya, ribet.”
Di akhir acara, narasumber berbaik hati memberikan kenang-kenangan untuk seluruh peserta yaitu sebuah buku karyanya sendiri yang berjudul “Buku Puisi Memento.” Buku ini adalah pemenang Anugrah Puisi CSH 2009. Setelah itu, tentu saja, narasumber diserbu untuk dimintai tanda tangan. 😀
Saya juga menyumbangkan beberapa buku terjemahan saya sebagai doorprize. Mbak Fey yang penerjemah Perancis-Indonesia juga menyumbangkan dua eksemplar buku terjemahannya yang berjudul “Batu Kesabaran”, yang diterjemahkan langsung dari Bahasa Perancis.
Sore itu kami pulang dengan perasaan puas dan berharap HPI Komda Bali sering-sering membuat acara sejenis yang mampu menambah pengetahuan anggotanya.
(*) dikutip dari brosur acara.