Bulan lalu, menjelang deadline sebuah novel, saya kedatangan seorang tamu. Mungkin tidak tepat disebut tamu sebab bapak ini sudah sering ke rumah karena ada urusan kerjaan dengan suami. Kali ini dia berkepentingan dengan saya yang berhubungan dengan terjemahan. Dia ingin menerjemahkan sebuah Akta Notaris yang berisi tentang perjanjian jual-beli tanah. Saya sadar ini adalah bidang pekerjaan penerjemah hukum, dan saya bukan penerjemah hukum, maka saya pun langsung bilang bahwa saya tidak biasa menerjemahkan dokumen hukum. Saya bilang bahwa saya lebih banyak menerjemahkan novel/buku dan modul-modul kuliah.
Tapi tampaknya saya tidak berhasil memberinya pengertian. Intinya dia minta tolong sebatas kemampuan saya. Kemudian bapak itu menunjukkan Akta Notaris yang dalam Bahasa Indonesia, lalu menunjukkan satu lagi yang dalam Bahasa Inggris. Saya dipersilakan untuk membacanya. Oh, saya kaget setengah mati dan nyaris tak percaya. Hasil terjemahan dalam Bahasa Inggris itu dibuat dengan Google Translate (GT) 100%. Tanpa diedit sedikit pun, lengkap dengan semua typo-nya. Saya membaca dengan saksama, ada banyak typo yang berasal dari teks Bahasa Indonesia-nya sebelum diolah dengan GT. Tentu saja typo itu tidak dikenal oleh GT dan bisa diduga bagaimana hasilnya.
Saat saya tanya, siapa yang menerjemahkan Akta Notaris tersebut, jawabnya adalah pihak Notaris (yang membuat akta itu). Dari apa yang diceritakannya, saya menyimpulkan bahwa bapak ini adalah orang kepercayaan seorang investor dari Surabaya. Nah, investor Surabaya ini mempunyai rekanan orang Inggris. Jadi, akta yang dalam Bahasa Inggris ini diperlukan untuk diberikan kepada si orang Inggris untuk dipelajari isinya. Saya terus terang mengatakan bahwa saya bukan penerjemah hukum dan kalau saya memaksakan diri, hasilnya tidak akan bagus. Si bapak meyakinkan saya agar tidak usah khawatir. Karena sebelum diserahkan kepada si orang Inggris, akta terjemahan saya akan dibaca dulu oleh si orang Surabaya, yang notabene sudah biasa membaca akta-akta seperti ini (sehubungan dengan pekerjaannya), sehingga kalau ada kesalahan akan langsung dikoreksi.
Yah, saya tidak bisa menghindar lagi. Satu lagi yang “mengerikan” adalah terjemahan itu harus selesai esok sorenya, karena sore itu akan langsung dibawa ke Surabaya untuk didiskusikan dengan si orang Surabaya. Bah, pragat dah!
Saat itu juga saya langsung mulai kerja. Saya mengingat-ingat pelajaran mata kuliah Translation yang khusus membahas dokumen hukum. Saya juga berusaha search untuk mencari contoh-contoh dokumen hukum. Ketemu beberapa situs yang khusus membahas terjemahan dokumen hukum. Semalaman saya tenggelam dalam penerjemahan dokumen tersebut. Ternyata… dokumen hukum itu asyik juga! Ada pakem-pakem tertentu. Mungkin karena saya memang suka mempelajari hal-hal baru, itu yang membuat saya merasa asyik. Kalau saja tidak dibatasi waktu, ingin rasanya berpuas-puas untuk googling dan mempelajari contoh-contoh akta notaris yang saya temukan. Salah satu tautan yang saya temukan adalah ini.
Kemudian ada beberapa istilah hukum yang membuat saya ragu-ragu. Tidak kurang akal, saya bertanya pada teman yang biasa menggarap dokumen legal. Walaupun saya tidak yakin akan mendapat bayaran, saya tetap berusaha mengerjakannya semaksimal mungkin, sekuat tenaga. Ada rasa malu kalau hasilnya jelek-jelek amat.
Singkat cerita, saya berhasil menyelesaikan delapan halaman dokumen tersebut tepat pada waktunya, walaupun dengan langkah terseok-seok dan begadang semalam suntuk. Juga bolak-balik buka modul mata kuliah Translation yang pernah saya pelajari dulu. Betul-betul penuh perjuangan!
“Ini saya bawa dulu ke Surabaya, nanti pulang dari Surabaya saya bayar,” kata si bapak ketika mengambil hasil terjemahannya tanpa bertanya berapa mesti bayar. Saya hanya mengiyakan dan tak berharap banyak akan dapat bayaran. Setelah itu saya pun tenggelam kembali bersama novel saya.
Seminggu kemudian, si bapak datang lagi ke rumah.
“Bu, maaf, saya baru datang dari Surabaya, jadi baru bisa bayar terjemahannya. Sekarang saya bayar setengah dulu. Sisanya saya bayar bulan depan ya, nunggu uang saya cair dulu,” katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Setelah saya hitung ada 10 lembar. Emang dia mau bayar berapa sih untuk 8 lembar terjemahan itu? Katanya ini baru setengahnya, berarti nanti ada setengah yang lain lagi dong?
“Bagaimana hasil terjemahan saya, Pak? Maaf, kalau kurang bagus,” kata saya.
“Tampaknya bisa diterima, Bu. Teman saya yang di Surabaya tidak ada komplain,” jawabnya.
Tidak komplain karena sungkan atau tidak komplain karena memang bisa diterima? Entahlah. Yang penting saya sudah bilang dari awal bahwa saya bukan penerjemah dokumen hukum.
*****************
Kemarin, sebulan setelah kejadian di atas….
Si bapak datang lagi untuk memenuhi janjinya. Membayar sisa pembayaran seperti yang dijanjikannya. Terus terang saya takjub sendiri. Delapan halaman terjemahan dengan format dua spasi kertas A4, saya dibayar dua juta rupiah. Itu pun diiringi dengan permintaan maaf, karena dia merasa ngutang cukup lama.
“Maaf, Bu, agak lama ngutangnya. Saya tahu menerjemahkan dokumen hukum tidak gampang dan Ibu sudah sangat membantu saya. Suksma… suksma,” katanya sambil menyerahkan 10 lembar uang pecahan seratus ribu.
“Suksma mewali, Pak.”
“Oh, ya, nanti ada lagi, Bu, dokumen yang harus diterjemahkan. Saya masih susun, nanti saya minta tolong lagi, nggih. Kemungkinan saya akan sering menerjemahkan materi yang sejenis seperti yang kemarin dulu itu .”
“Nggih, Pak.”
Ini pengalaman pertama saya menerjemahkan dokumen hukum dan dalam situasi “terpaksa”. Tapi mendapat bayaran ala penerjemah hukum senior. 😀
Sebenarnya bapak ini sudah membayar cukup tinggi di Notaris untuk penerjemahan akta tersebut, sayangnya hasilnya mengecewakan. Mestinya dia bisa saja komplain kepada Notaris tersebut, rupanya dia malas ribut-ribut dan memilih menerjemahkan ulang di tempat lain. Artinya, dia keluar biaya dua kali. Tapi kalau saya lihat nilai proyek yang tercantum dalam akta tersebut, apalah artinya dua juta rupiah, dibandingkan dengan nilai proyeknya yang di atas 30M. 😉
Saya jadi ingat beberapa kali melakukan penerjemahan milik teman, yaitu guru-guru yang kuliah pascasarjana, terutama menerjemahkan modul-modul dan tugas-tugas kuliahnya. Saya sering dibayar dengan beribu-ribu terima kasih dan uang sekadarnya. Tapi saya ikhlas, karena terjemahannya itu bukan untuk kepentingan bisnis.
Nah, kali ini saya dibayar cukup tinggi di samping beribu-ribu terima kasih, tentu saja 😀
Kalau memang rezeki, pasti tidak akan kemana.
Suatu saat nanti saya ingin belajar lebih serius dalam penerjemahan dokumen hukum. Tapi tampaknya tidak dalam waktu dekat, karena saat ini saya sedang cinta-cintanya menerjemahkan buku/novel. 🙂 Juga masih mempunyai kewajiban sampai di penghujung tahun ini.
Legalese, I think… I love you 😀
(NB: Terima kasih yang tak terhingga untuk Windy, karena bersedia ditodong pertanyaan malem-malem ;.-) Juga terima kasih untuk Mas Nursalam yang telah memberikan tautan tempat belajar lebih mendalam tentang dokumen hukum. Semoga Tuhan membalas kebaikan ini).