Numpang Lewat
Disadari atau tidak, ada begitu banyak yang lewat atau numpang lewat dalam kehidupan kita. Ada yang numpang (berdiam) cukup lama, ada yang benar-benar hanya numpang lewat untuk kemudian berlalu begitu saja. Kadang tanpa pesan, kadang meninggalkan kenangan indah, tak jarang meninggalkan kenangan pahit, bahkan sangat menyedihkan.
Ada juga orang-orang yang mampir dalam kehidupan kita tak pergi-pergi jua walaupun kehadirannya hanya memberi kesedihan atau kemarahan. Bahkan ketika kita ingin menyingkir pun, sepertinya tak pernah ada jalan. Mungkin semua sudah ada garisnya. Mungkin orang-orang seperti itu memang “bertugas” untuk menguji kita.
Tetapi tak jarang ada juga yang mampir sekejap dan memberi kebahagiaan pada kita. Ketika kita ingin menahannya lebih lama agar merasakan kebahagiaan lebih lama, takdir berkata lain.
Beberapa hari yang lalu saya melayat ke rumah salah satu tetangga yang baru saja kehilangan menantu dan calon cucunya (masih berada dalam kandungan). Dari apa yang saya dengar, sang calon ibu tersebut koma dalam tidurnya, tak sempat sadar dan langsung meninggal dengan membawa serta bayinya.
Siapa yang bisa menahan kesedihan seperti itu? Pasangan muda tersebut baru menikah setahun yang lalu dan sedang bahagia-bahagianya bersiap menyambut kelahiran sang buah hati pertama. Dan… bayi tersebut tak pernah lahir. Sang calon ibu dan bayi dalam kandungannya itu ternyata hanya mampir sebentar dalam kehidupan suaminya. Kemudian pergi begitu saja tanpa pesan meninggalkan kesedihan mendalam pada sang suami dan calon ayah yang tadinya begitu penuh harapan.
Yang mampir dalam kehidupan kita bisa hewan seperti anjing, kucing, burung, ayam atau yang lainnya. Salah satunya yang hadir dalam kehidupan kami adalah Roki. Anjing dekil, cungkring, kudisan dan setengah gundul yang datang ke rumah, yang kini sudah menjelma menjadi anjing yang gagah, kuat dan ganteng. Keberadaannya di rumah kami sudah hampir satu setengah tahun. Dia makin lucu bin menggemaskan (walaupun tampangnya sedikit sangar). Semoga dia tetap sehat dan panjang umur
Ada juga ayam jago yang dulu dikasih oleh kakak ipar. Ceritanya, saat itu menjelang Galungan sekian tahun yang lalu, kakak ipar memberi saya seekor ayam untuk dipotong. Seekor ayam jago yang masih muda berwarna cokelat kemerahan. Waduh, mana bisa saya memotongnya? Akhirnya, si ayam berakhir dalam kurungan dan masih hidup sampai sekarang. Setiap pagi dia berkokok lantang menyambut fajar dan membangunkan kami.
Ada beberapa makhluk lain juga yang sempat hadir seperti burung tekukur dengan sayapnya yang terluka yang kini sudah bisa terbang bebas. Dulu sempat juga ada beberapa burung dara datang bersama teman-temannya dan menetap cukup lama. Setelah hampir setahun mereka pergi lagi melanjutkan petualangannya ke tempat lain.
Kemudian yang terakhir datang adalah seekor anak anjing kecil yang kami beri nama Bimbim. Saat datang ke rumah kondisnya sudah demikian lemah. Ada banyak bekas luka yang hampir mengering di tubuh ringkihnya. Ada ikatan ketat tali rafia di lehernya. Saya berusaha merawatnya dengan baik. Setiap makan dia selalu lahap dan tanpa sisa, dan itu membuat saya senang. Dokter hewan langganan kami juga memeriksa kesehatannya. Untuk sementara belum bisa diberi vaksin karena harus menunggu kondisinya fit benar.
Hingga kemudian, di suatu pagi… dia tak mau makan. Saya pikir dia bosan dengan lauknya (nasi + kaldu ayam). Bergegas saya ke pasar untuk membelikannya ati ayam. Ternyata dia tetap tak mau makan. Saya berusaha menyuapinya, dia tolak. Seharian itu dia hampir tak makan. Saya bingung. Esoknya saya panggil dokter. Setelah diperiksa, dokter bilang kemungkinannya untuk selamat adalah fifty-fifty. Dokter menyebut Bimbim terkena serangan virus yang saya lupa namanya. Iya, dia memang belum divaksin apa pun.
Kondisinya menurun dengan cepat. Begitu dokternya pulang, dia tambah lemas. Tak bisa bangun, tak bisa berdiri. Hanya bisa berbaring. Hanya matanya yang berusaha menatap. Tahulah saya bahwa dia akan pergi sebentar lagi. Sepanjang siang sampai sore hari itu saya menemaninya. Saya terus mengusap-usap kepalanya sambil memanggil-manggil namanya. Dia sempat bersuara sebentar, seperti merintih, kemudian napasnya mulai tersengal-sengal. Saya tetap mengelus kepalanya sambil berdoa agar Tuhan tak membiarkannya tersiksa lebih lama. Virus tersebut begitu ganas dan dengan cepat menggerogoti tubuh lemahnya.
Akhirnya, beberapa saat kemudian napasnya berhenti. Untuk beberapa saat saya masih mengusap kepalanyanya dengan mata berlinang. Tapi sejenak kemudian saya sadar, tak ada yang bisa dilakukan lagi selain segera menguburnya.
Sore itu saya langsung menguburnya setelah membungkus tubuh kecilnya dengan secarik kain kafan dan membekalinya dengan “canang atanding” plus nasi dan lauknya seporsi. Ternyata, dia hanya numpang lewat beberapa hari saja. Hanya numpang minta dikubur di rumah saya. Cukup meninggalkan kesedihan. Cukup memberi pelajaran pada saya tentang kematian demi kematian yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup. Cepat atau lambat. Tapi ada satu hal yang cukup menghibur saya, setidaknya… saya telah memperlakukannya dengan baik selama dia hidup.
Lalu bagaimana dengan Roki yang selama ini menjadi teman mainnya? Selama proses penguburan, dari persiapan hingga selesainya penguburan, saya mengurung Roki di garasi. Saya tak ingin dia melihat semuanya. Setelah semua beres, saya pun mengeluarkan Roki dan garasi. Benar seperti perkiraan saya, begitu masuk ke halaman belakang, Roki langsung mencari-cari Bimbim. Dia mencari ke segala sudut, ke dapur, ke setiap sudut halaman. Dia tak menghiraukan saya. Ketika saya memanggil namanya, dia memandang saya seperti minta jawaban. Saat saya berusaha memegangnya, dia melengos dan menepis saya lalu melanjutkan pencariannya.
Ternyata anjing memang punya perasaan.
Selamat jalan, Bimbim. Tak ada lagi penderitaan di alam sana. Tak ada lagi manusia yang menyiksamu di sana. Terima kasih telah memberi pelajaran pada kami.