Yang Terbaik Di Antara Yang Buruk

“Na, aku menyesal kenapa Mama mau menikah dengan Papa,” kata Ryan pada Nana. Saat itu Ryan sedang main ke rumah Nana yang merupakan sahabatnya sejak SD.

“Lho, kalau mamamu ngga menikah dengan papamu kamu ngga akan terlahir ke dunia ini,” sahut Nana.

“Kalau boleh memilih aku lebih suka tidak lahir daripada hidupku seperti ini,” desah Ryan. “Tidak pernah ada ketenangan di rumahku, Na. Yang ada hanya ketegangan dan sikap bermusuhan dari Mama dan Papa,” lanjut Ryan dengan nada putus asa.

Nana menarik napas panjang tanpa bisa berkata apa-apa. Ditatapnya sahabatnya  yang kelihatan nelangsa.

“Kadang mereka tidak bertegur sapa berhari-hari. Atau, sekalinya bertegur sapa berakhir dengan pertengkaran,” kata Ryan.

“Memang masalahnya apa sih?”

“Aku juga ngga ngerti, Na. Mama menyembunyikan permasalahan yang sebenarnya. Aku melihat Mama tampaknya tidak ingin anak-anaknya mengetahui pokok permasalahan mereka.”

“Yah, kalau kamu tahu masalahnya mungkin kamu bisa memberi masukan pada mereka, Ryan.”

“Aku hanya sempat mendengar Mama bilang Papa tidak setia. Hanya itu yang aku dengar sekilas.”

Nana terdiam. Sampai sahabatnya pamit pulang, Nana masih terdiam.

*****

Dua bulan kemudian, Nana menerima SMS dari Ryan. Isinya singkat saja. Na, kamu ada di rumah? Aku butuh teman bicara. Nana langsung membalas. Iya, aku ada di rumah. Dateng aja.

Tak sampai setengah jam Ryan sudah berada di rumah Nana.

“Tumben kamu kelihatan happy, Ryan,” canda Nana. “Dapet pacar baru yaa?” godanya lagi.

“Huh, boro-boro,” jawab Ryan sambil tertawa.

Nana ikut tertawa.

“Na,” kata Ryan dengan nada serius,  “akhirnya… Mama dan Papa memutuskan untuk pisah.” Suara Ryan terdengar pelan.

“Pisah? Maksudmu? Cerai?”

“Iya, Na. Mereka cerai.”

Nana terhenyak. “Trus, kamu dan adikmu gimana?”

“Ikut Mama, Na.”

“Tapi… tapi….” Nana tak tahu mesti ngomong apa pada sahabatnya.

“Tenang, Na, aku ngga apa-apa.  Malah sekarang situasi jadi lebih baik. Tidak ada ketegangan, tidak ada pertengkaran. Selama ini aku kasihan sekali sama Mama. Mama sudah terlalu banyak berkorban perasaan untuk anak-anaknya.”

Nana terdiam.

“Sekarang aku melihat Mama sudah bisa tersenyum. Biarlah, Na, kami rasanya lebih tenang hidup seperti ini.”

“Tapi….” Nana tak melanjutkan ucapannya. Terdiam.

“Perceraian… mungkin bukan jalan yang baik, Na. Tapi coba kamu pikir, apa gunanya berkumpul  kalau setiap hari mereka hanya saling menyakiti?”

Nana tetap diam.

Selama ini tak pernah terbayang oleh Nana bahwa perpisahan orangtua bisa membuat suasana lebih tenang. Tapi Ryan sudah membuktikannya. Nana melihat dan merasakan sendiri Ryan terlihat lebih cerah.  Tidak ada lagi wajah kusut seperti hari-hari sebelumnya.

Sebuah pelajaran baru bagi Nana, bahwa kadang perpisahan merupakan jalan terbaik di antara pilihan-pilihan buruk yang ada.

*****