Kita semua pasti mengenal Candi Borobudur minimal dari pelajaran sejarah yang kita pelajari di sekolah. Selama ini kita meyakini bahwa Candi Borobudur didirikan oleh penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan Dinasti Sailendra dari Kerajaan Mataram Kuno. Hal ini terlihat dari fakta yang ada yaitu adanya ribuan relief Buddha di dindingnya dan ratusan candi Buddha. Para arkeolog pun tidak membantah hal tersebut.
Kemudian, ketika terbit sebuah buku yang berjudul “Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman”, maka, sebagian masyarakat pun terhenyak. Terjadilah perdebatan di forum-forum tertentu yang membantah teori-teori yang ada di buku tersebut.
Seno Panyadewa, sang penulis “Misteri Borobudur” merasa penting membuat sebuah buku sanggahan untuk meluruskan pandangan-pandangan yang salah tentang Borobudur. Karena menurutnya bila ada sebuah buku yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka selayaknya disanggah dengan sebuah buku pula. Sejarah tetaplah sebuah sejarah yang tidak boleh direkayasa demi apa pun. Tapi tentu saja sang penulis menyusun buku ini dengan dasar-dasar yang kuat baik dari segi logika, bukti arkeologis, bukti ilmiah dan bukti studi ikonografi.
Buku ini mengupas tuntas teori-teori yang mengatakan bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman. Seno Panyadewa kemudian memeriksa dan membandingkannya dengan bukti-bukti dari berbagai penelitian ilmiah untuk membuktikan apakah Candi Borobudur yang agung ini peninggalan Nabi Sulaiman atau peninggalan Dinasti Sailendra.
Bagaimana isi lengkap buku ini? Nah, buku ini sudah beredar di toko-toko buku terkemuka kesayangan Anda atau kalau Anda malas pergi ke toko, Anda bisa kontak saya atau langsung ke penerbitnya, Penerbit Dolphins.
Histories make men wise, kata Francis Bacon, seorang filsuf, negarawan dan penulis Inggris. Sejarah membuat manusia bijaksana. Karena itulah, sudah selayaknya kita tak boleh melupakan sejarah.
“Penulisan sejarah tak pernah berakhir, sejarah tak pernah berhenti, ia terus berjalan sepanjang masa. Oleh sebab itu sejarah harus ditulis ulang, dan setiap generasi harus menulis sejarahnya sendiri.”
Itulah yang dikatakan oleh Anak Agung Gde Putra Agung (seorang Guru Besar di Unud) dalam Kata Sambutan di sebuah buku yang berjudul “Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950).” Saat itu beliau dosen di Fakultas Sastra Unud Jurusan Sejarah. Kini beliau menjadi Penglingsir di Puri Agung Karangasem.
Buku ini ditulis oleh Anak Agung Ktut Agung, salah satu putra Puri Agung Karangasem yang mempunyai keinginan begitu kuat untuk meninggalkan sesuatu bagi generasi penerus Puri agar mengetahui persis bagaimana sejarah para leluhurnya mulai dari berdirinya Kerajaan Karangasem.
Setelah pensiun sebagai anggota DPR/MPR RI, beliau kembali ke kampung untuk mengabdikan diri di Puri dan masyarakat di tanah kelahirannya. Awal munculnya hasrat beliau untuk menulis buku ini bermula ketika melaksanakan upacara “mepandes” (potong gigi) untuk putra-putri dan beberapa keponakannya, yang pelaksanaannya bersamaan dengan Yadnya Baligya yaitu suatu upacara penyucian untuk roh para leluhur.
Ada dorongan yang begitu kuat dalam hatinya untuk mengungkapkan bagaimana terbentuknya Kerajaan Karangasem dan seputar kehidupan di dalamnya agar generasi berikutnya benar-benar mengenali sejarah leluhurnya. Tentu itu bukanlah pekerjaan mudah mengungkap kehidupan suatu kerajaan yang telah lewat 340-an tahun yang lampau. Tetapi keinginan beliau begitu kuat karena beliau merasa ada banyak hal yang patut diketahui oleh para generasi muda keturunan keluarga ini.
Beberapa saat setelah selesainya pelaksanaan yadnya tersebut, mulailah beliau berpikir mencari materi untuk calon bukunya baik melalui babad-babad maupun catatan-catatan sejarah. Juga sumber-sumber lain seperti piteket, piagam, awig-awig, arsip-arsip, buku-buku, artikel, majalah, serta sumber lainnya. Juga dokumen-dokumen yang dibuat di masa penjajahan Belanda dan tulisan-tulisan para cendekiawan asing yang ada hubungannya dengan Kerajaan Karangasem. Beliau pun memulai perburuannya hingga ke negeri Belanda.
Bukan hanya sumber tertulis, beliau juga berburu sumber tak tertulis yang berupa cerita sejarah turun-temurun yang diterima secara lisan yang masih melekat kuat di masyarakat. Hal ini tentunya membutuhkan metodologi khusus yang harus dimiliki seorang penulis sejarah.
Apa yang dilakukannya ini tentu tidak ringan dan memerlukan energi yang besar. Semangat tinggi yang pantang menyerah dan pengorbanan yang tidak kecil. Beliau membutuhkan waktu yang cukup lamavuntuk melakukan semua persiapan ini, memeras tenaga dan pikiran serta kesediaan dana yang juga tidak sedikit.
Tetapi segala jerih-payah beliau tidak sia-sia. Setelah melewati segalanya, akhirnya terbitlah buku tersebut. Semangat beliau yang tak kenal lelah patut menjadi teladan bagi anak-cucu dan generasi penerus lainnya. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi keturunannya. Sebuah buku luar biasa yang seringkali menjadi sumber penelitian atau rujukan untuk mahasiswa pascasarjana jurusan sejarah.
Mestinya keturunan beliau bisa mengikuti jejaknya melanjutkan menulis sejarah berikutnya untuk menyambung buku tersebut. Program pengolah kata saat ini sudah sedemikian canggihnya yang tentunya sangat membantu bagi para calon penulis. Beda dengan beliau dulu yang harus mengetik dengan mesin ketik kuno.
Iya, kan? 😀
Semoga buku ini bisa menjadi api inspirasi bagi cucu-cicitnya.
Oh, ya, buku ini sudah tak bisa ditemukan lagi di toko-toko buku. Pihak keluarga berencana untuk menerbitkannya kembali. Semoga segera bisa dilakukan. Swaha. Tat-astu.
Akhirnyaaa, Sabda Palon 4 yang merupakan kelanjutan dari Sabda Palon seri-seri sebelumnya, terbit sudah. Buku ini amat ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya terutama yang sudah membaca seri 1, 2 dan 3. Tentu saja karena mereka penasaran dengan jalinan cerita berikutnya.
Dalam Sabda Palon 4 ini secara garis besar menceritakan bagaimana saat-saat mulai melemahnya Kerajaan Majapahit yang dimulai ketika Bhre Kertabumi, Putra Mahkota Majapahit menyelir Siu Ban Ci, putri seorang saudagar Tionghoa yang cantik jelita. Bhre Kertabumi tidak mengindahkan nasihat punakawannya yang sakti dan amat setia yaitu Sabda Palon.
Dengan mata batinnya, Sabda Palon bisa melihat dengan jelas bahwa putri jelita inilah yang akan mengawali jatuhnya Majapahit. Mulailah terjadi berbagai intrik yang pelan tapi pasti mengarah pada kehancuran Majapahit.
Patut disayangkan, tapi itulah cerita sejarah yang telah terjadi yang tak bisa dihindari.
Silakan baca jalan cerita selengkapnya hanya di Sabda Palon seri 4.
Sekali lagi, saya mendapatkan kesempatan menerjemahkan sebuah buku bagus. Senang tak terkira karena ada banyak hal yang bisa dipetik dari buku ini yang bisa diterapkan dalam kehidupan saya.
I Moved Your Cheese (IMYC), menilik dari judulnya banyak yang mengira buku ini adalah sekuel dari Who Moved My Cheese? (WMMC) yang pernah jadi bestseller hampir satu dekade yang lalu. Tidak, IMYC bukanlah sambungan dari WMMC, penulisnya pun berbeda. IMYC terlahir setelah penulisnya membaca WMMC dan merasa ada yang harus diluruskan. Jadi, IMYC lebih sebagai koreksi sekaligus melengkapi pesan-pesan dalam buku WMMC yang dirasa kurang.
*******
Jika Anda seekor tikus yang terjebak dalam sebuah labirin dan seseorang terus mengambil keju Anda, apa yang akan Anda lakukan?
Buku laris ‘Who Moved My Cheese?’ memberikan jawaban untuk pertanyaan ini: “terimalah bahwa perubahan tidak bisa dihindari dan berada di luar kendali Anda. Jangan membuang waktu untuk bertanya-tanya mengapa hal tersebut terjadi, hindari masalah dan mulailah mencari keju lagi.”
Jawaban ini dianggap kurang cocok oleh Deepak Maholtra, seorang Profesor di Harvard Business School. Menurutnya, keberhasilan di bidang inovasi, kewirausahaan, kreativitas, kepemimpinan, dan pertumbuhan bisnis–serta pertumbuhan kepribadian–tergantung pada kemampuan kita untuk mendobrak batas-batas yang ada, membentuk ulang lingkungan kita, dan menjalankan aturan yang berbeda: aturan kita sendiri. Tidak sekadar menerima apa yang diberikan.
Dengan pemikiran tersebut dalam benaknya, Profesor Deepak Malhotra kemudian menulis buku IMYC dan menawarkan jawaban yang sangat berbeda untuk pertanyaan tersebut. Dalam IMYC, Malhotra menceritakan sebuah kisah inspiratif tentang tiga ekor tikus petualang yang unik–Max, Big, dan Zed—yang menolak untuk menerima kenyataan begitu saja. Kita seperti menonton kehidupan mereka yang terpampang jelas dan saling bersinggungan. Kita melihat bahwa daripada hanya mengejar keju secara membabi buta, kita semua sebenarnya memiliki kemampuan untuk melarikan diri dari labirin atau bahkan membentuk ulang labirin sesuai dengan keinginan kita.
Dalam menghadapi kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar, ide-ide tradisional, sumber daya yang langka, dan tuntutan atau harapan dari orang lain, seringkali kita meremehkan kemampuan sendiri untuk mengendalikan nasib kita sendiri dan mengatasi kendala yang kita hadapi. I Moved Your Cheese mengingatkan kita bahwa kita dapat menciptakan keadaan dan realitas baru yang kita inginkan. Tapi pertama-tama kita harus membuang terlebih dahulu pemikiran yang seringkali tertanam begitu dalam bahwa kita tidak lebih dari seekor tikus di dalam labirin orang lain.
*******
Bagaimana isi lengkap buku ini? Ayo, cari di toko-toko buku terdekat dan nikmati isinya. 😀
Kat and The Dare-Devil Spaniard (Kat dan Sang Kekasih Spanyol), sebuah novel romantis, diselingi adegan yang sedikit menegangkan, akan membuat pembaca menahan napas. 🙂
Sinopsis:
Semula ketika disuruh ayahnya ke yacht milik Carlos Guererro, Kat Balfour mengira ia mendapatkan hadiah liburan. Namun ketika sudah berada di atas yacht, seseorang mengulurkan sebuah celemek padanya, barulah ia tahu ia disuruh bekerja! Kat pernah bertemu Carlos beberapa tahun sebelumnya, dan ia tahu Carlos menyukai ketegangan serta pebisnis yang cerdas. Tetapi baginya, pria itu penuh misteri.
Terjebak di tengah laut bersama pria seperti Carlos, membuat Kat yang selalu dimanjakan keluarganya dan tidak pernah bekerja, nyaris hilang kendali.
Carlos begitu senang mendapatkan Kat sebagai pengurus rumah tangganya yang baru. Ia menyuruh Kat bekerja dan berusaha menuruti permintaan ayah Kat untuk mengajari wanita itu agar bisa mandiri.
Merasa tertipu, Kat begitu marah. Dia berusaha melarikan diri. Tentu saja itu sesuatu yang tidak mungkin. Dia berada di atas yacht di tengah lautan bebas, mau lari ke mana? Dalam keputusasaannya bercampur amarah, dia menceburkan diri ke tengah laut! Bagaimana cara Carlos menyelamatkan gadis itu?
Apakah Carlos berhasil memenuhi permintaan ayah Kat? Atau justru ia yang terjebak oleh pesona Kat?
Postingan ini masih berhubungan dengan acara seminar tgl 20 April 2013 tempo hari di Universitas Warmadewa (Unwar). Seperti yang saya tulis di postingan sebelumnya, pada hari itu juga diadakan peluncuran Buku Bahtera 3 yang diberi judul Pesona Penyingkap Makna (PPM). Judul yang sungguh manis dan puitis.
Ibu Sofia Mansoor sebagai salah satu editor buku PPM (bersama Ibu Maria E. Sundah) menceritakan sedikit tentang buku itu dan latar belakang ditulisnya buku tersebut. Saya termasuk salah satu penulis yang menyumbangkan dua tulisan di sana.
Sebagai salah satu penulis yang kebetulan hadir di acara tersebut, saya kemudian didaulat oleh Ibu Anna (yang mendampingi Ibu Sofia saat peluncuran buku itu), untuk bercerita sedikit tentang tulisan saya dan mengapa tertarik menyumbang tulisan di sana. Saya pun berbicara sebentar. Setelah acara peluncuran selesai, para peserta seminar yang ingin memiliki buku tersebut dipersilakan untuk membelinya di tempat yang telah disediakan. Para peserta langsung menyerbu. Tentu saja tidak semua kebagian karena buku PPM yang dibawa dari Bandung oleh Ibu Sofia tidak banyak. Jadi, yang belum kebagian bisa memesan dan akan dikirim via pos.
Di luar dugaan, saya juga “diserbu” oleh beberapa teman. Untuk apa? Untuk minta tanda tangan! Mereka minta supaya saya membubuhkan tanda tangan di buku mereka, di halaman artikel yang saya tulis. Waw, ada rasa malu, karena saya merasa bukan siapa-siapa. Sempat ingin menolak karena malu, tapi akhirnya mau juga setelah setengah dipaksa. Sungguh, tadinya saya menolak bukan karena apa, tapi semata-mata karena malu saja. Merasa belum layak mendapat perlakuan seperti itu. 😀
Tapi, di satu sisi, hal itu membuat saya makin semangat menulis. Rasanya ingin segera menuntaskan novel yang sedang saya tulis, yang terbengkalai karena terdesak oleh kegiatan lain yang lebih urgen. Jadi mengkhayal, gimana ya… kalau novel saya benar-benar sudah selesai, sudah terbit dan ternyata disukai khalayak pembaca? Hm, pasti saya merasa bak Dewi “Dee” Lestari. 😉 *Boleh dong bermimpi* 😛
Akhirnya, buku Bahtera ke-3 yang lama ditunggu-tunggu kini sudah siap terbit, siap edar. Buku antologi yang diberi judul Pesona Penyingkap Makna (PPM) ini memuat tulisan beberapa penerjemah yang menuliskan berbagai hal tentang dunia penerjemahan. Di buku ini saya menyumbang dua tulisan seperti juga pada buku sebelumnya, Buku Bahtera ke-2 yang berjudul Menatah Makna.
Saya tidak akan berpanjang kata tentang buku keren ini. Isi selengkapnya bisa dibaca di sini. Tapi ada satu hal yang membuat saya senang dan akan tercatat dalam sejarah hidup saya *halah* , karena buku ini akan diluncurkan secara resmi pada tanggal 20 April 2013, yang bertepatan dengan hari ulang tahun saya, dan bertempat di Almamater saya, kampus Universitas Warmadewa Denpasar. Hari itu bertepatan juga dengan peresmian Komda HPI Bali-Nusra dan Seminar bertajuk “Not Lost in Translation”. Sebuah kebetulan yang menyenangkan, bukan?
Jadi, boleh dong saya merasa buku ini sebagai kado ulang tahun spesial bagi saya.
Oh, ya, buku PPM ini dibandrol dengan harga Rp. 65.000,- plus ongkos kirim. Untuk pemesanan silakan hubungi Ibu Sofia F. Mansoor di alamat email sofiamansoor@gmail.com.
(Ssst, saya masih belajar menjadi penulis, dan sampai saat ini masih menyimpan obsesi untuk menulis sebuah novel. Tema sudah ada, kerangka sudah ada, tinggal menulis saja, tapiiii… kapan mulainya yaa).
Kemarin siang ada sebuah email masuk, dari editor sebuah penerbit besar. Isinya singkat saja:
“Apakah Ibu bersedia dan ada waktu untuk menerjemahkan buku baru lagi?
Kalau ya, hari ini saya akan kirimkan bukunya.”Dari email itu tersirat bahwa sang editor butuh segera untuk menerjemahkan buku yang dimaksudnya. Saya sempat bingung mau menjawab apa, karena sampai awaf Februari depan, saya tidak mungkin menerima terjemahan baru lagi. Saya sedang menerjemahkan sebuah buku motivasi dan beberapa terjemahan pendek dari klien tetap. Saya tidak mau menggarap dua buah buku dalam waktu yang bersamaan. Tidak akan sanggup, dan saya tahu diri, tahu batas kemampuan saya. Lagian, sungguh tidak enak bekerja dalam keadaan tegang dan perasaan dikejar-kejar.
Tapi di sisi lain, saya juga tidak bisa menolak begitu saja. Dua bulan lalu pertama kali saya bekerja sama dengan editor ini, orangnya baik dan ramah. Beliau bilang, hasil terjemahan saya yang pertama itu akan menjadi tolok ukur apakah saya akan tetap diberikan order lagi. Jadi, dengan adanya repeat order ini saya berasumsi terjemahan saya yang sebelumnya cukup memuaskan (boleh dong sedikit berbangga). 😉
Karena saya tidak mungkin menerima order saat itu lagi, akhirnya saya terus terang. Saya bilang bahwa sampai awal Februari saya belum bisa menerima terjemahan baru. Bolehkah saya minta waktu sampai awal Maret? Saya sempat pesimis permintaan saya disetujui. Tapi di luar dugaan, email saya langsung dibalas, dan sang editor mengatakan akan menunggu saya. Deadline yang akan diberikan nanti adalah minggu ketiga bulan April. Cukup lapang, karena saya juga harus memperhitungkan kegiatan-kegiatan saya yang lain. Dengan deadline seperti itu, tentunya tidak berat bagi saya.
Wah, senangnya, kalau memang rezeki sih, ngga akan ke mana-mana, bukan? 🙂
Tahun 2012 sebentar lagi berakhir. Di akhir tahun nanti saya ingin berpuas-puas membaca buku-buku yang saya inginkan. Kali ini ada empat buku baru, novel sejarah, yang semuanya menarik. Keempatnya diterbitkan oleh Penerbit Dolphin, buah karya Damar Shashangka, penulis muda berbakat yang sedang naik daun. Saya menyukai semua jenis novel, tapi saya mempunyai ketertarikan yang besar terhadap novel-novel sejarah.
Dua di antaranya adalah Sabda Palon (dua seri). Nama Sabda Palon dan Naya Genggong, adalah dua tokoh yang tidak asing lagi bagi saya. Sejak kecil saya sudah sering mendengar nama kedua tokoh ini yang diceritakan oleh kakek dan orang tua saya.
Hanya saja, kali ini saya akan tahu lebih mendetail dan terperinci.
Yang dua lagi berjudul Darmagandhul dan Wali Sanga. Sungguh akan menarik sekali mengenal kembali tokoh-tokoh yang hidup ratusan tahun silam. Sabda Palon seri pertama sudah mulai saya baca, walaupun belum bisa dengan kecepatan penuh. Masih diselingi oleh beberapa pekerjaan-pekerjaan kecil.
Oh, ya, ada satu lagi, buku Kisah Lainnya yang bercerita tentang Ariel, Uki, Lukman, Reza dan David. Mantan personil Peterpan yang kini berganti menjadi NOAH. Buku ini request dari anak saya yang menyukai lagu-lagu mereka. Terlepas dari kesalahan yang pernah diperbuat Ariel, anak saya mengagumi jiwa bermusik mereka dan kebersamaan mereka yang tetap utuh dan setia menunggu Ariel, melewati masa-masa sulit. Anak saya memang selalu kagum dan memuja kesetiaan sebuah persahabatan.
Di samping menikmati isi buku-buku tersebut, saya juga ingin mempelajari bahasanya, untuk menambah wawasan dan menambah kosakata, siapa tahu suatu saat berkesempatan menulis buku atau novel. *Cita-cita jangka panjang* 😀
Hampir dua bulan yang lalu Ibu Sofia Mansoor mengumumkan bahwa Buku Bahtera 3 akan segera dibuat, dan sejak itu saya sudah berniat untuk menyumbang dua tulisan. Ide untuk kedua tulisan itu sudah ada tetapi saya tidak bisa langsung menulisnya. Deadline terjemahan yang sudah mepet membuat saya tidak konsentrasi untuk menulis. Saya sudah mencobanya karena khawatir ide yang ada akan terkubur, atau batas waktu pengiriman tulisan sudah ditutup. Hanya saja, setiap memulai menulis teringat dengan deadline, akhirnya saya tidak jadi menyelesaikan tulisan itu. Untuk berjaga-jaga agar ide tersebut tidak hilang, saya ketik konsepnya saja dulu dengan harapan, begitu deadline terpenuhi, saya akan menyelesaikannya segera.
Akhirnya, dua minggu yang lalu artikel pertama bisa saya selesaikan dan langsung dikirim ke panitia. Penulisan artikel kedua tidak bisa langsung diselesaikan karena ada pekerjaan mendesak. Diselingi mengajar dan pekerjaan kecil-kecil (pendek), dan… hari ini selesai sudah artikel kedua. Sekarang tinggal berdoa saja semoga kedua artikel tersebut lolos seleksi dan bisa dimuat di Buku Bahtera 3 bersama penerjemah-penerjemah lainnya yang hebat-hebat. 🙂
Dalam buku Bahtera 2 yang diberi judul Menatah Makna (MM), yang terbit pada bulan Februari 2011, saya menyumbang dua artikel juga. Sedangkan pada buku Bahtera 1 yang diberi judul Tersesat Membawa Nikmat (TMN) saya tidak menyumbang tulisan, tentu saja tidak karena saya belum jadi anggota milis Bahtera saat itu. 😉 Buku TMN ini terbit pada bulan Juli 2009, sedangkan saya baru jadi anggota milis Bahtera sebulan kemudian, tepatnya Agustus 2009.