Sepuluh Hal Penting Saat Menerjemahkan Fiksi
Berkaca dari pengalaman saya beberapa waktu lalu, pengalaman yang bikin saya cukup panas-dingin karena baru pertama kali merasakan ‘berhadapan langsung’ dengan penulis yang bukunya saya terjemahkan, sepuluh poin yang dipaparkan John McGlynn dari Yayasan Lontar dalam seminar On the Road to Frankfurt: How Translations Travel yang berlangsung tanggal 24 Maret lalu di Gedung Kompas Gramedia menurut saya layak dicatat (Duh, panjang sekali kalimat ini. Tolong diedit :D)
Berikut kesepuluh hal penting tersebut:
Translate, write and rewrite — Menerjemahkan, menurut saya, bisa dibilang sama dengan menulis ulang. Itu sebabnya terjemahan fiksi yang harfiah tentu tidak enak dibaca, karena…
Pay respect to original but honor the target language — Penerjemah wajib menghormati bahasa asli tapi juga harus menghargai bahasa target. Usahakan agar naskah yang kita terjemahkan bisa terbaca seolah-olah ditulis oleh orang Indonesia sendiri, bukan disadur dari naskah asing. Hargai pula panduan-panduan yang kita miliki sebagai penerjemah bahasa Indonesia, misalnya KBBI. Tentunya dengan tetap mengindahkan ‘suasana’ yang dibangun penulis dalam novel asli.
Do not ‘fix’ a story — Kalau kita merasa naskah asli yang harus kita terjemahkan tidak bagus, gaya bahasanya aneh, dan sebagainya, jangan mencoba memperbaikinya. Itu bukan cerita kita. Terjemahkan sesuai aslinya.
Seek the author’s permission — Saya akui, ini yang lalai saya kerjakan sewaktu menerjemahkan buku yang saya sebutkan di awal tulisan. Saya keasyikan menerjemahkan sesuai keinginan saya sendiri, dan lupa menanyakan apakah penulisnya setuju dengan pilihan-pilihan dan perubahan-perubahan yang saya buat.
Make use of the author’s linguistic skills — Masih berkaitan dengan poin keempat, penulis tentu lebih menguasai bahasa yang digunakan dalam menulis bukunya. Kalau kita menghadapi kesulitan atau merasa ragu dengan kata-kata yang kita temukan dalam naskah, jangan ragu-ragu untuk menghubungi penulis, karena mereka yang paling tahu apa yang mereka maksud dalam naskah tersebut. Namun McGlynn mengingatkan bahwa keputusan terakhir juga tetap berada di tangan penerjemah.
Give yourself time — Ya, kita semua tentu paham betul bahwa semakin panjang waktu untuk menerjemahkan, semakin baik terjemahan yang dihasilkan. Masalahnya, kita kerap terbentur tenggat atau rekening tabungan yang megap-megap hahaha. Jadi yah, tugas penerjemah adalah berusaha menerjemahkan sebaik-baiknya dalam kondisi yang tidak selalu mendukung.
Forget the original — Kembali ke poin dua. Upayakan terjemahan yang luwes sesuai bahasa target, karena pembaca kita adalah mereka yang berbicara dalam bahasa target.
Read the work aloud — Membaca hasil terjemahan keras-keras sangat membantu dalam memutuskan apakah terjemahan kita sudah enak didengar dan wajar.
Consult skilled native speakers — Ini terutama berlaku jika kita menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa asing.
Dan yang paling penting dari semuanya…
Take criticism and listen to advice! — Tidak ada manusia yang sempurna. Menerima kritik merupakan cara terbaik untuk menyadari bahwa hidup adalah proses pembelajaran yang tidak akan pernah berakhir. (Maaf, sisi puitis dalam diri saya selalu kepingin muncul sedikit :D) And I’ve learned my lessons well.
Atas seizin pemiliknya, artikel ini diambil dari blog milik Mbak Barokah Ruziati.