Sebuah Rekonsiliasi?
Saya pernah menulis sebuah kisah tentang seseorang yang saya sebut Mr. Super Duper Pelitz yang sempat membuat saya nangis saking kesalnya (baca: marah). Sejak kejadian itu saya tak ingin lagi bertemu atau berhubungan dalam bentuk apa pun dengannya. Walaupun setelah kejadian tersebut dia sempat datang lagi beberapa kali ke rumah karena ada urusan dengan suami, saya tetap menghindar untuk bertemu muka. Sebisa mungkin. Bukan, saya bukan mendendam, hanya malas saja melihat wajahnya.
Suatu hari dia datang lagi ke rumah untuk membicarakan sesuatu dengan suami. Setelah urusannya dengan suami selesai, dia bilang pada suami ingin bicara dengan saya sebentar. Kali ini saya tidak bisa lagi menghindari komunikasi dengannya karena dia jelas-jelas bilang mau membicarakan sesuatu yang (kalau dilihat dari wajahnya) tampak penting sekali. Dengan menarik napas panjaaaaang, saya terpaksa menemuinya di kamar tamu. Kalau saya menolak menemuinya akan jelas sekali saya kelihatan tidak sopan.
“Bu Agung lagi sibuk, ngga?” tanyanya membuka percakapan. Karena suami saya namanya Agung, dia biasa memanggil saya dengan sebutan “Bu Agung.” Ini pertama kalinya saya bicara lagi dengannya setelah kejadian itu. Tampaknya dia juga menyadari perubahan sikap saya karena setiap dia datang ke rumah, saya tak pernah menampakkan diri. Apakah ini sebuah rekonsiliasi?
“Iya, Pak, saya sibuk sekali.” Saya to the point saja menjawab tanpa basa-basi dan memberi penekanan pada kata “sibuk sekali.” Dan, saya sadari sikap saya formal sekali.
“Lagi menerjemahkan apa sekarang, Bu?” tanyanya lagi. Saya sudah curiga saja dia ingin menerjemahkan sesuatu.
“Ada satu novel dan beberapa modul kuliah, Pak.”
“Begini, saya mau kenalkan Bu Agung dengan penerjemah yang ada di dekat kampus saya di Surabaya,” katanya dengan mimik serius.
“Maksudnya?” saya belum mengerti arah pembicaraannya. Saya sadar, sikap saya agak saklek, tidak seperti dulu sebelum kejadian yang menjengkelkan itu.
“Di dekat kampus saya ada beberapa tempat menerjemahkan dan biayanya muraahh banget, Bu.”
“Oh, bagus dong, jadi Bapak kan bisa menerjemahkan modul-modul Bapak di sana,” jawab saya lega. Setidaknya, ada jaminan dia tidak akan minta saya untuk menerjemahkan tugas-tugasnya lagi.
“Iya, saya sudah menerjemahkan di sana karena murah sekali, Bu.”
“Trus, apa maksud Bapak menyampaikan ini pada saya?” saya mulai tak sabar, sudah ingin kabur saja dari hadapannya.
“Begini, kalau Bu Agung punya proyek banyak, bisa suruh mereka kerjakan, ongkosnya murah dan kerjanya cepat, lho. Jadi, Bu Agung kan bisa dapat untung banyak karena ada selisih yang cukup besar antara rate Bu Agung dan rate mereka,” katanya panjang lebar.
Oh, baik sekali Bapak ini! Sejak kapan dia memikirkan keuntungan saya?
“Terima kasih, Pak, tapi saya belum berpikir untuk mengalihkan pekerjaan saya pada orang lain.”
“Tapi mereka cepat sekali kerjanya, Bu. Katanya mereka memakai program khusus, dan mereka tinggal memasukkan data kita, trus mereka edit sedikit, langsung jadi, Bu,” lanjutnya dengan semangat.
Duh, saya sudah cepat-cepat ingin mengakhiri pembicaraan ini, tapi saya masih berusaha bersikap sopan dan mencari cara agar saya bisa pergi.
“Makasih sekali lagi, Pak, tapi saya tak mungkin bisa kerjasama dengan mereka. Kalau pun saya overload, saya sudah punya teman di sini yang biasa saya ajak kerjasama.”
Dia terdiam.
Sebelum dia sempat bicara lagi, saya langsung mendahuluinya.
“Pak, maaf, saya tinggal dulu, ada yang harus saya kerjakan.” Tanpa menunggu jawabannya, saya langsung berdiri dan kabur dari sana.
*Susah juga menghilangkan perasaan kesal ini tapi setidaknya saya tetap bersikap sopan.*