Review: A Girl Who Loves a Ghost
Senang sekali rasanya ketika mendapat kesempatan sebagai “Beta Reader” dari novel ini. Saya langsung tertarik begitu membaca bagian prolognya. Tapi saya juga mencium aroma kesedihan di novel ini walaupun belum menemukan bagian tersebut. Sebelum melanjutkan membaca, saya bertanya pada editornya apakah novel ini sad-ending? Apakah di novel ini ada banyak adegan sedihnya? Sejujurnya saya kurang suka membaca yang sedih-sedih. Saya tak ingin membaca sesuatu sambil berurai air mata. Lha, hidup ini sendiri sudah cukup menguras air mata, kenapa mesti ditambah lagi dengan membaca yang sedih-sedih? *halah* 😛
Tapi sang editor tidak memberi jawaban yang jelas. Katanya, “Silakan baca dulu sampai selesai, nanti akan ketemu jawabannya.” Walah. Yah, sudahlah, saya pun lanjut membacanya.
*****
Judul : A Girl Who Loves a Ghost
Penulis : Alexia Chen
Penyunting : Shalahuddin Gh
ISBN : 978-602-70105-4-3
Harga : Rp 80.000,- (552 hlm.)
Penerbit : Javanica (PT. Kaurama Buana Antara)
Aleeta, seorang gadis blasteran Indonesia-Amerika yang sangat cantik dengan wajah indonya tapi tidak suka dipanggil gadis bule. Sayangnya, postur dan wajah cantiknya yang khas blasteran membuatnya sering dipanggil “bule”. Di mana pun dia berada, sosoknya selalu menarik perhatian karena tubuhnya yang menjulang dan rambutnya yang pirang. Sesungguhnya dia tak menyukai kenyataan tersebut, tapi apa boleh buat, begitulah dia adanya. Aleeta yang sudah kuliah dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA tinggal di Jakarta sementara kedua orangtuanya lebih sering melanglang buana karena mereka punya bisnis yang berbasis di Amerika. Hanya sesekali saja mereka bisa bertemu.
Petualangan Aleeta dimulai ketika ia ditemui oleh seorang pria tampan keturunan Jepang di kampusnya. Pria itu muncul begitu saja di ruang kuliahnya. Tadinya ia tak menyadari kalau pria itu adalah sesosok hantu karena wujudnya begitu nyata. Dia baru sadar bahwa pria itu bukanlah manusia seperti dirinya ketika teman-temannya tak menyadari kehadiran sosok pria tersebut. Hanya dia sendiri yang bisa melihatnya.
Sang hantu yang bernama Yuto mati penasaran karena dibunuh oleh lawan bisnis ayahnya. Arwahnya belum bisa tenang kalau si pembunuh belum tertangkap. Satu-satunya harapan Yuto yang bisa membantunya adalah Aleeta, gadis yang mempunyai kemampuan supranatural karena faktor keturunan. Nenek buyutnya adalah seorang cenayang dan ahli sihir dan dia mewarisi bakat tersebut.
Tapi… kenapa Yuto menemuinya? Kenapa harus dia? Kenapa tidak orang lain saja? Semua itu ada kaitannya dengan kegemaran Aleeta yang suka mendoakan orang yang telah meninggal dan itu dilakukannya secara spontan. Berawal dari ketika Aleeta membaca koran yang memuat berita tentang terbunuhnya Yuto Nakano, putra pengusaha terkenal keturunan Jepang. Secara spontan Aleeta mendoakan korban agar mendapat ketenangan di alam sana. Ternyata hal itulah yang menarik arwah Yuto untuk mendekatinya. Yuto merasa hanya Aleeta yang bisa menolongnya untuk menyelesaikan urusannya dengan si pembunuh. Aleeta berusaha keras menolak permintaannya dan berusaha menghindar dengan berbagai cara. Tapi akhirnya ia tak kuasa lagi menghindar. Mulailah petualangan mereka dalam mencari sang penjahat. Dalam perjalanan serta kebersamaan mereka dalam memburu gerombolan penjahat, Aleeta tak pernah menyangka dirinya bisa jatuh cinta pada Yuto. Begitu mendalam.
Bagaimana mungkin seorang manusia bisa jatuh cinta pada sosok hantu? Apa yang harus mereka lakukan agar bisa bersatu? Mungkinkah itu? Sang penulis menceritakannya dengan amat baik. Penulis berhasil menggambarkan perasaan kedua makhluk beda dunia yang saling jatuh cinta ini dengan indah. Ada beberapa bagian yang begitu mengharu-biru yang membuat Anda tak sadar meneteskan air mata. Tetapi ada juga adegan konyol yang bikin kita senyum-senyum sendiri karena keluguan Aleeta.
Pada akhirnya, setelah urusan Yuto selesai dengan si pembunuh, Aleeta harus memilih apakah ingin mempertahankan hubungannya dengan Yuto dan menahannya di dunia ini, atau, apakah Aleeta harus mengikhlaskan Yuto pergi ke dunia lain? Kedua pilihan tersebut mengandung konsekuensi tertentu. Ah, cinta memang penuh misteri. Betapa tidak, ada pria lain yang mendambakan Aleeta sebagai kekasihnya, tetapi… Aleeta malah lebih memilih mencintai sesosok hantu.
*****
Terus terang, rasanya saya sangat menyesal kenapa Aleeta baru mengenal Yuto setelah dia menjadi hantu? Coba ada mantra yang bisa menghidupkan orang mati. Jadi geregetan saya. Menjelang akhir cerita, saya mencium “aroma” sequel, apakah itu hanya harapan saya atau memang beneran akan ada kelanjutannya. Karena penasaran, saya bilang pada editor: “Tampaknya novel ini akan ada kelanjutannya.”
Sang editor mengiyakan. Jadi, bolehlah saya berharap di sequel berikutnya ada cerita yang membahagiakan Aleeta.
Bahasanya begitu rapi, mengalir dan enak dibaca. Begitu Anda membaca kalimat pertama dari novel ini, Anda tak akan ingin meletakkannya sebelum selesai. Sungguh. Satu kata yang mewakili novel ini adalah: mengasyikkan.
Ada yang menarik dari gaya bahasa novel ini. Sepintas novel ini seperti novel terjemahan, bahkan ada yang grammar-nya terkesan ‘English banget’. Sebagai “beta reader” saya merasa harus menyampaikan hal ini kepada editor (mumpung belum dicetak). Saya menunjukkan beberapa kalimat di halaman-halaman tertentu yang (menurut saya) perlu diedit. Ternyata editor sependapat dengan saya dan beliau bilang proses penyuntingan memang belum selesai. Dan memang setelah saya membaca versi cetaknya, hal-hal tersebut sudah diperbaiki sehingga makin membuat sempurna novel ini.
Secara umum gaya penulisannya sangat menarik. Memang terkesan seperti novel terjemahan tapi novel terjemahan yang diterjemahkan dengan amat bagus. Ternyata bukan saya saja yang mempunyai kesan demikian. Anak gadis saya ketika membaca novel ini juga mengira demikian. Dia langsung menyukainya. Memang anak ini dari dulu terbiasa membaca novel-novel yang cukup berat, seperti karya-karya Dan Brown, Agatha Christie atau pengarang lain yang genrenya tidak ‘menye-menye’. Entah mengapa, walaupun dia gadis remaja, dia kurang suka novel-novel teenlit. Dia memang sangat pemilih, tidak semua novel yang saya kasih mau dibacanya, tergantung kesan pertamanya. Kalau dari awal dia sudah merasa bahasanya tidak bagus, novel itu akan diletakkannya. Kalau tidak ada novel baru yang bagus, dia lebih memilih membaca ulang-ulang novel lama yang menurutnya bagus. Beberapa di antaranya yang sering dibaca ulang adalah To Kill a Mockingbird, The Client dan The Da Vinci Code.
Nah, novel ini mampu menarik perhatiannya. Begitu membaca kalimat pertama, dia langsung menyukainya. Sungguh novel ini memang bagus sekali. Jempol. Bukan hanya gaya penulisan ceritanya yang menarik, tapi editingnya juga keren! Selamat untuk sang penulis dan sang editor.