Pertama kali mengikuti tes terjemahan, saya mendapat materi novel yang bergenre drama, tidak tanggung-tanggung… black drama! Materi yang saya terjemahkan itu bercerita tentang kisah percintaan sepasang gay. Bayangkan, saya betul-betul gagap dan seperti kehilangan kata-kata. Memang, seorang penerjemah idealnya sanggup menerjemahkan berbagai genre, tapi waktu itu saya baru pertama kali mengikuti tes. Saat membacanya saja saya merasa risih, bagaimana menerjemahkannya? Tapi saya tetap berusaha semaksimal mungkin, hanya saja mungkin karena kurang sreg dan kurang pengalaman, alhasil… hasil terjemahannya agak kaku, kurang luwes. Saya sendiri sangat menyadarinya. Hasilnya? Saya sukses… sukses besar tidak lolos! 🙂 Saya tersenyum ketika membaca email dari editor novel tersebut yang mengatakan bahasa saya kurang luwes. Tentu saja, gimana mau luwes, membacanya saja sudah ‘merinding’ sendiri. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan 🙂
Beberapa hari yang lalu, dengan sangat menyesal saya terpaksa menolak ikut tes terjemahan sebuah novel. Padahal saya sangat menginginkannya. Penyebabnya waktu yang sangat mepet. Materi tes saya terima petang hari, dan sudah harus dikembalikan keesokan harinya. Sedangkan saat itu saya sedang ada deadline juga, sehingga dengan terpaksa saya tidak bisa mengerjakan tes tersebut. Saya sempat bertanya kepada editornya kenapa waktunya sangat mepet.  Biasanya waktu tercepat untuk tes (yang pernah saya alami) minimal tiga hari. Sang editor menjawab bahwa novel itu harus segera tayang, sehingga harus cepat memilih penerjemahnya. Iseng-iseng saya tanya berapa halaman tebal novel itu dan akan dikasih waktu berapa lama untuk pengerjaannya. Jawabannya membuat saya keder, tebal novel 400-an halaman dan waktunya hanya sebulan! Waduh, saya tidak akan sanggup. Untuk novel setebal itu saya tidak akan bisa menyelesaikannya dalam sebulan, kalaupun bisa hasilnya tidak akan maksimal. Jadi, saya memilih untuk melepas kesempatan tersebut. Bukannya saya menyerah duluan, tapi… kalau sudah jelas-jelas di luar batas kemampuan, saya tidak mau memaksakan diri dari pada membuat kecewa klien.Â
Saya memperhitungkan faktor-faktor lain yang tak terduga yang bisa saja terjadi selama proses menerjemah. Misalnya, saya bisa sakit, atau tiba-tiba harus menghadiri undangan adat, atau melayat, atau hal-hal lainnya yang  tak bisa diduga, dan sebagai makhluk sosial sudah tentu kita tidak bisa mengabaikan semua itu. Jadi, saya harus pinter-pinter mengukur kemampuan diri, jangan sampai saya bilang sanggup, tapi ternyata saya tidak bisa memenuhi tenggat waktu yang saya sanggupi. Itu akan lebih buruk lagi, kan? 🙂
keiria
May 6, 2013 @ 4:43 pm
hihihi..
aku juga ga pernah lolos tes terjemahan novel..
mungkin masih kurang ‘nyastra’..
kalo non-fiksi lumayan lah.. 😀
dnpusparini
May 7, 2013 @ 8:35 pm
Ayo… coba lagi, Mbak Keiria, hehehe. Siapa tahu kali ini lolos 😀