PENERJEMAH YANG KURANG PROFESIONAL
Saya punya satu klien mahasiswi yang kuliah di jurusan Psikologi. Materi yang paling sering diberikan pada saya adalah mentranskripsi video. Saya senang karena materinya bagus-bagus, yang sebagian besar tentang psikologi (tentu saja, namanya juga mahasiswi psikologi). 🙂
Kebanyakan adalah video-video dari psikolog Barry Schwartz. Salah satunya yang menarik adalah The Paradox of Choice. Selama proses transkripsi saya juga menikmati isinya. Sampai di sini tak ada masalah. Soal rate juga tak masalah karena klien ini tak pernah rewel berapa pun rate-nya. Hanya saya yang sering kasih diskon karena dia mahasiswi.
Suatu hari dia datang lagi. Kali ini juga hendak mentranskripsi sebuah video. Dia bilang video inspirasional. Tadinya saya berharap video milik Barry Schwartz lagi, ternyata tidak. Kalau dulu-dulu videonya nyari di youtube, tapi sekarang dia membawa file sendiri.
Sebenarnya dia mau meninggalkan flashdisk-nya dan akan mengambil hasil transkripsi esok harinya. Tapi saya menahannya sebentar. Seperti biasa, saya ingin melihat videonya sedikit sebelum memutuskan untuk menerima pekerjaan itu.
Saya kemudian membuka video yang berjudul “Video Inspirasional”.
Film dibuka dengan adegan di sebuah ruangan yang sangat besar, sepertinya di sebuah pabrik pengolahan daging. Ada ratusan orang yang berpakaian serba putih dan memakai masker putih sedang membungkus/mengepak berbagai jenis daging dan olahannya.
Kemudian kamera beralih ke tempat lain, ke sebuah lapangan yang besar, hampir sebesar lapangan bola. Di sana terdapat ribuan, mungkin ratusan ribu ekor ayam yang sedang dihalau (dilindas?) oleh kendaraan besar yang tampak seperti buldoser. Wajah saya langsung pucat. Saya segera melewati bagian itu.
Rupanya klien saya memperhatikan wajah saya. “Tante, kalau ngga kuat, dilewati aja bagian yang ini.”
Tanpa disuruh pun saya langsung melewatinya. Tapi, apa yang saya lihat berikutnya? Adegan berikutnya adalah di sebuah tempat seperti peternakan. Ada sederet sapi yang berada dalam kerangkeng dengan alat penyedot susu di perutnya. Kemudian kamera beralih ke sebuah ruangan besar yang berisi sekelompok babi, yang masing-masing berbaring di tempat/kandang yang sangat sempit. Mereka tak bisa berdiri dan bergerak karena begitu sempitnya tempat tersebut. Babi-babi tersebut menyusui anak-anaknya tanpa bisa bergerak sedikit pun. Hanya matanya yang bergerak-gerak seperti mengisyaratkan sesuatu.
Sampai di sana saya tak kuat lagi. Saya langsung klik “close” dan menutup video itu.
“Dik, maaf… tante ngga bisa ngerjain ini.” Suara saya terdengar bergetar. Saya sekuat tenaga berusaha menahan air mata yang nyaris menetes. Malu saya pada gadis muda ini kalau ketahuan nangis.
Dia menatap saya sambil berkata, “Oh, tante ngga bisa melihat tayangan yang seperti itu ya?”
“Iya, maaf banget ya.”
Dengan menyesal saya mengembalikan flashdisk-nya. Sudah pasti saya tak akan sanggup nonton video ini. Untuk melakukan transkripsi tentunya saya harus memutar berulang-ulang terutama pada bagian yang suaranya kurang jelas dengan mencocokkan gambarnya juga. Mana sanggup saya? Dibayar berapa pun saya tak sanggup.
Ternyata… saya kurang professional. Saya tak bisa mengenyampingkan sisi emosional ini untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Ketimbang klien kecewa, saya lebih baik menolak dari awal.
Di satu sisi saya sangat paham bahwa ada milyaran umat manusia di atas bumi ini yang harus dipenuhi kebutuhan makannya. Jadi, kebutuhan akan daging pastilah sangat besar, yang akhirnya memicu tumbuhnya industri-industri peternakan dan pengolahan daging. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Masalah ada pada saya, yang ternyata tidak bisa bersikap profesional ketika menghadapi jenis pekerjaan seperti ini. Saya yang terlalu lemah karena tidak sanggup melihat wajah dan sinar mata pasrah makluk-makhluk tersebut.
Saya ingat, duluuu banget pernah menerjemahkan artikel tentang penggunaan anjing sebagai alat percobaan untuk kosmetik. Artikel itu menggambarkan dengan detail proses percobaan tersebut pada anjing dan efek yang diderita oleh anjing-anjing malang tersebut. Dalam proses penerjemahan tersebut, beberapa kali saya harus berhenti untuk menenangkan diri dan berusaha menghalau bayangan anjing-anjing menderita yang muncul dalam pikiran saya. Saya tak bisa mengembalikan materi terjemahan itu karena sudah terlanjur janji menyelesaikannya. Memang sebelumnya saya tak memeriksa keseluruhan isinya. Saya tak menyangka isinya begitu “kejam.” Tak ada yang bisa dilakukan selain lanjut kerja sambil sesekali mengusap mata.
Terkadang… dunia ini memang kejam bagi sebagian makhluk. 🙁