Memahami Batas Kemampuan Diri
Beberapa hari yang lalu saya kedatangan klien lama yang sudah menjadi klien saya sejak dia mulai kuliah S-2. Hampir semua terjemahan modul kuliahnya saya yang mengerjakan, begitu juga kalau ada tugas-tugas kuliah yang berhubungan dengan penerjemahan. Sekarang ini perkuliahannya di S-2 sudah selesai dan kini lanjut mengambil program S-3.
Kedatangannya hari itu untuk menerjemahkan sebuah buku. Saya sempat melihat dan membaca sekilas, wah… tampak menarik sekali isinya. Judulnya “Philosophy of Science.” Sayangnya, kali ini saya tidak bisa mengerjakannya karena saat ini saya tidak mungkin bisa menerima job baru lagi. Waktunya yang tidak memungkinkan. Kalau cuman beberapa halaman, mungkin saya bisa usahakan dan mencuri waktu sedikit di sela-sela novel ini. Tapi ini materinya cukup banyak. Lebih dari seratus halaman.
Saya terus terang mengatakan bahwa saya tidak bisa mengerjakannya, dengan diiringi permintaan maaf dan menyarankan supaya dibawa ke tempat lain. Kalau dilihat dari rate, amat sangat menggiurkan, mendekati rate dokumen. Tapi situasi benar-benar tidak memungkinkan bagi saya.
“Bu, diolas, uleh-ulehan dikit. Saya kan sudah biasa menerjemahkan sama Bu Desak. Saya males lagi mencari tempat lain, harus hunting lagi. Harus kenalan lagi. Masa sih Ibu ngga bisa bantu saya.”
Aduh! Sungguh, saya tak bermaksud menolak rezeki, tapi….
“Pak, bukan saya tidak mau bantu, tapi saya betul-betul tidak bisa menerima job baru sampai tiga bulan ke depan,” jawab saya dengan nada minta maaf. Untuk membuktikan bahwa saya bukannya tidak mau bantu, saya menunjukkan tumpukan pekerjaan saya.
“Waduh, saya mesti gimana nih.” Dia tampak bingung. Sungguh, saya tak enak hati sebenarnya. Merasa agak bersalah menolak orang yang betul-betul butuh. Tapi mau gimana lagi? Saya juga harus tahu diri dengan batas kemampuan saya terutama waktu yang saya miliki. Tiba-tiba muncul ide di pikiran saya. Saya menawarkan sebuah solusi.
“Pak, bagaimana kalau saya kenalkan dengan seorang teman saya. Dia penerjemah profesional dan saya jamin Bapak tidak akan kecewa.”
Wajahnya tiba-tiba cerah.
“Begini aja, Bu. Saya serahkan terjemahan ini sama Ibu, terserah Ibu mau kasih temen atau siapa. Jadi, saya cukup berhubungan sama Ibu saja.”
Waduh. Kena lagi! Sebelum saya sempat menjawab, dia sudah bicara lagi.
“Saya benar-benar minta tolong, Bu. Ibu pasti sudah kenal baik kan sama temen Ibu itu. Ibu juga tahu bagaimana situasi saya.”
Kali ini saya tidak bisa menolak lagi, tepatnya, tidak punya alasan untuk menolak. Saya cukup mengerti dengan situasi dan kesibukannya. Dia tinggal di Denpasar, seorang pengusaha juga pemilik (bersama beberapa temannya) sebuah sekolah tinggi kesehatan, sedangkan kuliahnya di Surabaya. Hal itu menyebabkan waktunya agak terbatas. Akhirnya saya menyanggupi permintaannya yang terakhir (karena saya tak mungkin menolak lagi).
Dan, saat ini saya bolehlah berlega hati. Materi terjemahan sudah saya serahkan pada seorang teman yang integritasnya amat saya percayai. Baru sore tadi saya serahkan. Sebagai penghubung sekaligus ‘penanggung jawab’, saya bisa tenang karena tahu persis kualitas sahabat muda saya itu.
Makasih yaa, sahabat mudaku yang tantiiik. 😉
Catatan:
Diolas: Bahasa Bali yang maknya ‘minta tolong dengan amat sangat’
Uleh-ulehan: Bahasa Bali yang maknanya “usahakan sedapat mungkin bila perlu paksakan sedikit”