Diskusi saat ngantri : “Penerjemah, Editor dan Reviewer”
Menunggu memang membosankan. Seperti siang tadi ketika saya membayar pajak di Bank, kemudian menyetorkan laporannya ke Kantor Pajak, tidak pernah tidak ngantri. Biasanya selalu ada sebuah buku di dalam tas saya agar ada yang dibaca untuk mengantisipasi situasi seperti ini. Tapi hari ini, karena ganti tas dan tadi agak terburu-buru saya tidak mengecek apakah masih ada buku di dalam tas saya. Ternyata tidak ada. Mata saya jelalatan ke sekeliling ruangan mencari sesuatu untuk dibaca. Biasanya ada beberapa koran di pojok-pojok ruangan, tapi hari ini tidak nampak selembar koran pun. Saya bingung apa yang harus dilakukan untuk membunuh waktu.
Akhirnya, saya ambil BB, menghubungi adik saya dan membuka sebuah topik diskusi lewat BBM. Saya bercerita bahwa beberapa hari yang lalu sempat membaca tulisan seorang blogger di blog-nya yang me-review dan mengkritik terjemahan sebuah memoar dari tokoh musik dunia yang terkenal. Menurut saya yang masih awam ini, selain mengkritik si penerjemah semestinya blogger tersebut menyalahkan sang editor dan reviewer juga, karena bukankah sebelum naik cetak naskah tersebut harus melewati tangan mereka? Adik saya yang juga hobi membaca dan lebih suka membaca versi aslinya daripada terjemahannya (bukan sok nginggris tapi gara-gara beberapa kali kebingungan membaca buku terjemahan, terutama buku-buku non fiksi). Saya pun bercerita sedikit tentang hal-hal yang digarisbawahi oleh blogger tersebut. Saya kurang setuju kalau hanya si penerjemah saja yang disalahkan, karena ada editor dan reviewer yang juga ikut bertanggung jawab sebelum sebuah karya terjemahan naik cetak.
Ternyata adik saya kurang sependapat. Katanya penerjemah tidak bisa “menggantungkan diri” sepenuhnya kepada editor ataupun reviewer. Sebab ada kemungkinan, mereka tidak sempat membaca semuanya walaupun itu adalah tugas utamanya. Penyebabnya bisa jadi karena begitu banyak naskah yang harus ditangani, sementara deadline mengejar terus, sehingga kondisi ideal, dimana editor seharusnya menyunting dengan seksama, tidak bisa tercapai. Dan, mereka terpaksa hanya sampling check saja di beberapa bagian, misalnya.
Jadi, menurut adik saya, penerjemah harus semaksimal mungkin berbuat dengan kata lain, anggap saja tidak ada editor dan reviewer tapi terjemahan tersebut harus tetap layak dibaca. Kenapa demikian? Sebab kalau buku itu sudah beredar dan kalau masyarakat pembaca menganggap ada sesuatu yang salah, at the end beban ada pada si penerjemah, bukan pada editor dan reviewer. Karena pertanyaan yang umum ditanyakan oleh masyarakat pembaca pastilah : “Siapa penerjemah buku XXXX? Bagus sekali lho terjemahannya.” Dan bukannya: “Siapa editor buku XXXX?”
Yah, harus diakui memang benar apa yang dikatakan adik saya, hanya saja dalam hati saya merasa ada sedikit ketidakadilan kalau 100% kesalahan ditimpakan kepada si penerjemah, sementara editor dan reviewer tidak disebut sama sekali keberadaannya.
Tapi walaupun demikian, saya sangat setuju bahwa penerjemah memang harus berusaha maksimal supaya hasil terjemahannya sesedikit mungkin mendapat sentuhan editor. Kalau bisa sih, supaya tidak dikutak-katik lagi karena editor tidak punya alasan untuk mengutak-atiknya. J
(Hanya sebuah pendapat dari seseorang yang masih awam dan sedang belajar menjadi penerjemah yang baik)
Anonymous
November 30, -0001 @ 12:00 am
Setuju, Mbak Rini, seperti yang saya tulis di paragraf terakhir. Sebuah kebahagiaan juga bagi penerjemah kalau editor tidak mengutak-atik terjemahannya karena tidak ada alasan untuk itu 🙂