KUPU-KUPU KUNING
Histories make men wise, kata Francis Bacon, seorang filsuf, negarawan dan penulis Inggris. Sejarah membuat manusia bijaksana. Karena itulah, sudah selayaknya kita tak boleh melupakan sejarah.
“Penulisan sejarah tak pernah berakhir, sejarah tak pernah berhenti, ia terus berjalan sepanjang masa. Oleh sebab itu sejarah harus ditulis ulang, dan setiap generasi harus menulis sejarahnya sendiri.”
Itulah yang dikatakan oleh Anak Agung Gde Putra Agung (seorang Guru Besar di Unud) dalam Kata Sambutan di sebuah buku yang berjudul “Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950).” Saat itu beliau dosen di Fakultas Sastra Unud Jurusan Sejarah. Kini beliau menjadi Penglingsir di Puri Agung Karangasem.
Buku ini ditulis oleh Anak Agung Ktut Agung, salah satu putra Puri Agung Karangasem yang mempunyai keinginan begitu kuat untuk meninggalkan sesuatu bagi generasi penerus Puri agar mengetahui persis bagaimana sejarah para leluhurnya mulai dari berdirinya Kerajaan Karangasem.
Setelah pensiun sebagai anggota DPR/MPR RI, beliau kembali ke kampung untuk mengabdikan diri di Puri dan masyarakat di tanah kelahirannya. Awal munculnya hasrat beliau untuk menulis buku ini bermula ketika melaksanakan upacara “mepandes” (potong gigi) untuk putra-putri dan beberapa keponakannya, yang pelaksanaannya bersamaan dengan Yadnya Baligya yaitu suatu upacara penyucian untuk roh para leluhur.
Ada dorongan yang begitu kuat dalam hatinya untuk mengungkapkan bagaimana terbentuknya Kerajaan Karangasem dan seputar kehidupan di dalamnya agar generasi berikutnya benar-benar mengenali sejarah leluhurnya. Tentu itu bukanlah pekerjaan mudah mengungkap kehidupan suatu kerajaan yang telah lewat 340-an tahun yang lampau. Tetapi keinginan beliau begitu kuat karena beliau merasa ada banyak hal yang patut diketahui oleh para generasi muda keturunan keluarga ini.
Beberapa saat setelah selesainya pelaksanaan yadnya tersebut, mulailah beliau berpikir mencari materi untuk calon bukunya baik melalui babad-babad maupun catatan-catatan sejarah. Juga sumber-sumber lain seperti piteket, piagam, awig-awig, arsip-arsip, buku-buku, artikel, majalah, serta sumber lainnya. Juga dokumen-dokumen yang dibuat di masa penjajahan Belanda dan tulisan-tulisan para cendekiawan asing yang ada hubungannya dengan Kerajaan Karangasem. Beliau pun memulai perburuannya hingga ke negeri Belanda.
Bukan hanya sumber tertulis, beliau juga berburu sumber tak tertulis yang berupa cerita sejarah turun-temurun yang diterima secara lisan yang masih melekat kuat di masyarakat. Hal ini tentunya membutuhkan metodologi khusus yang harus dimiliki seorang penulis sejarah.
Apa yang dilakukannya ini tentu tidak ringan dan memerlukan energi yang besar. Semangat tinggi yang pantang menyerah dan pengorbanan yang tidak kecil. Beliau membutuhkan waktu yang cukup lamavuntuk melakukan semua persiapan ini, memeras tenaga dan pikiran serta kesediaan dana yang juga tidak sedikit.
Tetapi segala jerih-payah beliau tidak sia-sia. Setelah melewati segalanya, akhirnya terbitlah buku tersebut. Semangat beliau yang tak kenal lelah patut menjadi teladan bagi anak-cucu dan generasi penerus lainnya. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi keturunannya. Sebuah buku luar biasa yang seringkali menjadi sumber penelitian atau rujukan untuk mahasiswa pascasarjana jurusan sejarah.
Mestinya keturunan beliau bisa mengikuti jejaknya melanjutkan menulis sejarah berikutnya untuk menyambung buku tersebut. Program pengolah kata saat ini sudah sedemikian canggihnya yang tentunya sangat membantu bagi para calon penulis. Beda dengan beliau dulu yang harus mengetik dengan mesin ketik kuno.
Iya, kan? 😀
Semoga buku ini bisa menjadi api inspirasi bagi cucu-cicitnya.
Oh, ya, buku ini sudah tak bisa ditemukan lagi di toko-toko buku. Pihak keluarga berencana untuk menerbitkannya kembali. Semoga segera bisa dilakukan. Swaha. Tat-astu.