PEMBINAAN BAHASA BALI

Hari itu ada pengumuman di WAG PKK di dusun saya bahwa akan ada pembinaan Bahasa Bali dalam rangka Bulan Bahasa Bali Tahun 2019. Dalam pengumuman itu disebutkan ada 3 kategori yaitu Mesatua Bali, Nyurat Bali dan Ngwacen Bali. Khusus untuk Mesatua Bali, pesertanya harus dari ibu-ibu PKK dan hanya 1 orang.  Dengan kata lain, setiap dusun diminta hanya mengirim 1 peserta untuk setiap kategori.

Saya sangat tertarik untuk mengikutinya tetapi berhubung peserta yang diminta hanya 1 orang, berarti harus cepat-cepat mendaftar. Saya langsung menghubungi Bapak Kadus apakah sudah ada peserta yang mendaftar. Ternyata belum ada. Saya langsung mendaftar. Sebelumnya saya sempat bertanya, apakah nanti ada lombanya? Beliau bilang tidak, hanya pembinaan. Tentu saya senang. Sebab kalau saja beliau bilang ada lombanya, sudah pasti saya tidak akan ikut. Ngga berani lomba Bahasa Bali. 😀

Singkat cerita, acara pelatihan pun dimulai yang berlangsung selama 2 hari. Saya memang “ngebet” ikut pelatihan ini karena ingin lebih memperdalam bahasa Bali. Malu juga rasanya orang Bali asli tapi kurang menguasai bahasa ibunya sendiri. Ditambah lagi belakangan ini makin banyak klien yang memberi pekerjaan terjemahan English-Balinese, vv. Sudah saatnya saya investasi waktu untuk memperdalam lagi bahasa Bali. Dengan mengikuti pelatihan kategori Mesatua Bali, tentu akan menambah kosakata saya karena bahasa pengantar para pelatih adalah Bahasa Bali. Pelatihan berlangsung seru dan menyenangkan. Di hari pertama kami mendapat teori-teori mesatua plus contoh mesatua yang dibawakan oleh salah satu pelatih.

Mempraktikkan ilmu yang telah diberikan

Di sinilah para pelatih baru mengatakan bahwa bulan Februari akan ada lomba mesatua Bali dan para peserta wajib ikut. Duh. Tidak bisa menghindar deh. Kalau memaksa, bisa saja mundur untuk tidak mengikuti lombanya, tapi rasanya malu juga karena merasa punya tanggung jawab moral. Sudah diberi pembinaan, kok mau mundur. 😀

Ya, sudah, pasrah aja.

Di hari kedua, para peserta harus mempraktikkan ilmu yang didapat dan maju satu per satu untuk praktik mesatua. Peserta yang lain dianggap sebagai penonton. Yah, lumayan grogi, hahaha.

Akhirnya tibalah saat lomba. Para peserta mengenakan busana adat Bali plus sanggul Bali. Awalnya saya deg-degan tapi akhirnya bisa menenangkan diri. Karena, bukankah tujuan awal saya ikut pelaithan bukan untuk ikut lomba? Jadi, kalau pun tidak menang, ya, tidak apa-apa, karena bukan itu target saya.

Saya memilih satua klasik Bali yaitu “Ni Bawang teken Ni Kesuna.” Saya dapat nomor urut dua. Bagus juga dapat nomor urut kecil, tidak terlalu deg-degan menunggu giliran. Di samping itu juga bisa cepat-cepat jadi penonton dengan tenang. 😀

Begitulah, tepat tengah hari, semua peserta sudah mendapat giliran. Sambil menikmati santap siang, panitia pun mengumumkan juaranya. Siapa juaranya? Sudah pasti bukan saya. Hahaha. Panitia hanya mencari 1 juara yang akan dikirim ke tingkat kota untuk mewakili Kecamatan Denpasar Utara.

Walaupun saya biasa mendongeng untuk anak saat dia masih kecil, tapi tentu beda situasinya. Kalau nyatua(mendongeng) untuk anak, saya sambil tiduran menemani si anak. Nah, kalau saat lomba, saya harus nyatua di atas panggung disaksikan penonton. Beda banget, kan ya? 😀

Tidak apa-apa, walaupun tidak dapat juara, yang penting “juari” tampil dan bisa selfie/wefie bersama ibu-ibu yang lain. Minimal, pernah melaksanakan ikut lomba nyatua basa Bali. 😀