Nyentana
“Nyentana atau tidak sama sekali!” Alit menunduk dalam-dalam mendengar suara bapaknya yang menggelegar. Ini yang kesekian kalinya dia mencoba berbicara dengan bapaknya agar direstui menikah dengan Bayu, kekasihnya sejak SMA. Setelah jalinan kasihnya berjalan tujuh tahun, tetap saja tidak ada izin, selama syarat utamanya tidak terpenuhi, yaitu nyentana.
“Sejuta kali sudah Bapak bilang padamu, hanya kau satu-satunya putri Bapak yang bisa diharapkan untuk melanjutkan keturunan kita. Kalau kau tidak mau mencari sentana, maka keluarga kita akan putung. Apa itu yang kau inginkan?” Bapaknya berkata panjang lebar dengan nada kesal.
“Kau tahu akibatnya, bukan? Kalau kau menikah dengan Bayu dan ikut dia, berarti kita putung, maka rumah dan tanah kita semua akan diambil alih oleh Desa Adat karena tidak ada lagi keturunan di sini.” lanjut bapaknya.
Alit hanya bisa terdiam dengan air mata yang tiada henti menetes. Bayu adalah cinta pertamanya sejak SMA, sampai melanjutkan kuliah pun di perguruan tinggi yang sama dan jurusan yang sama. Tidak pernah diduganya kisah cintanya akan seperti ini. Dia menyesali diri kenapa harus terlahir sebagai anak bungsu. Alit bersaudara dua orang, kakaknya yang juga perempuan sudah menikah dan ikut suaminya. Ketika kakaknya menikah, orang tuanya tidak terlalu mempermasalahkan karena merasa masih ada yang diharapkan untuk mencari sentana, yaitu Alit.
Alit menyesal kenapa dia tidak mempunyai saudara lelaki sehingga beban ini harus ditanggungnya. Seandainya dia punya adik atau kakak lelaki, sudah pasti dia tidak mengalami masalah seperti ini. Dalam adat Bali anak lelaki memegang peran penting sebagai purusa yang berkewajiban melanjutkan garis keturunan keluarga dan mempunyai hak waris untuk menerima semua kekayaan keluarga, juga menanggung semua tugas-tugas adat. Bagi keluarga yang tidak mempunyai anak lelaki, mereka akan berusaha mencari calon menantu yang mau nyentana, yaitu menikah dengan anak gadisnya dan si gadis ini yang mengambil peran sebagai purusa. Karena perannya sebagai purusa inilah si gadis disebut meraga muani dan suaminya meraga luh. Karena meraga muani, maka si suamilah yang ikut dia bukan sebaliknya seperti pada umumnya, yaitu istri yang ikut suami. Pasangan yang suaminya nyentana otomatis anaknya akan mengikuti garis keturunan si istri dan memakai nama keluarga si istri. Itulah tujuan nyentana, melanjutkan keturunan di keluarga istri. Tetapi tidak semua keluarga Bali yang tidak mempunyai anak laki-laki berniat mencari sentana.
Alit menarik napas panjang, dan tetap tidak bergerak ketika bapaknya menutup pembicaraan dengan tegas sebelum beranjak meninggalkannya.
“Pokoknya kau tidak boleh menikah dengan Bayu kalau dia tidak mau nyentana. Titik!”
“Kalau saja Bayu mau nyentana,” desah Alit dalam hati.
*****
Esoknya Alit menemui Bayu dan menceritakan semua pembicaraannya dengan bapaknya.
“Aku tidak bisa membujuk Bapak. Bapak tetap tidak mengizinkanku untuk menikah denganmu kecuali kau mau nyentana,” kata Alit sedih.
Bayu menatap kekasihnya dengan nelangsa. Dia sendiri juga sudah diultimatum oleh ayahnya untuk segera memutuskan hubungannya dengan Alit kalau dia tidak mau menikah secara normal, yaitu ikut garis suami.
“Aku juga jelas-jelas tidak diizinkan nyentana. Apa yang harus kita lakukan?” sebuah pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab.
“Ayahku, ibuku dan seluruh keluargaku menolak keras aku nyentana. Mereka bilang, aku dan keluargaku akan kehilangan harga diri kalau aku nyentana. Mereka bilang sangat tidak pantas kalau aku mengikuti perempuan dan membuang peranku sebagai lelaki.”
Alit membisu, Bayu membisu. Mereka seperti kehabisan kata-kata karena masalah ini sudah berulang kali dibahas dan tetap saja tidak menghasilkan apa-apa selain tangisan Alit. Setiap melihat Alit menangis, hati Bayu serasa teriris. Dia tidak bisa melihat Alit yang tampak begitu sedih dan menderita, sedangkan dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Bayu sudah pernah menawarkan solusi kepada orang tua Alit. Solusinya, kalau direstui menikah, dia bersedia nyeburin yaitu mengambil alih peran adat di keluarga Alit dengan tanpa meninggalkan peran adatnya di keluarganya sendiri. Bayu bersedia menanggung dua beban adat demi cintanya kepada Alit. Solusi ini ditolak mentah-mentah oleh orang tua Alit. Bagi mereka hanya ada satu jalan agar dia bisa menikah dengan Alit: Nyentana.
Bayu kebingungan, dia betul-betul tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mempertahankan hubungannya dengan Alit. Pikirannya kusut, akibatnya penampilannyapun terbawa kusut. Kentara sekali dia sedang mempunyai masalah berat. Dia bingung mesti bicara dengan siapa, ketika akhirnya dia teringat dengan sahabatnya yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri. Diani. Mungkin karena dia tidak mempunyai kakak perempuan dan melihat sosok seorang kakak pada Diani. Dia mencoba menghubungi Diani. Berhasil. Tumben, biasanya dia harus menelepon berulang-ulang baru diangkat. Kebiasaan buruk Diani ponselnya sering tidak berada di dekatnya.
“Mbok, gimana pendapatmu kalau ada seorang lelaki yang nyentana? Apakah menurutmu dia akan kehilangan harga diri?” tanyanya langsung.
Diani yang sudah mengetahui masalah yang dihadapi Bayu dengan kekasihnya, karena dia memang sering curhat dengannya, langsung mengerti apa maksud pertanyaannya. Tapi sifat usilnya keluar dan malah menggodanya.
“Gimana ya, kasih tahu ngga yaa….”
“Mbok, aku seriusssss! Kali ini aku tak ingin mendengar candamu!” suara di seberang sana menggelegar antara kesal dan mau nangis.
“Hey, santai sedikit dong, ahh,” kata Diani sambil tertawa. “Oke, aku jawab sekarang. Apakah seorang lelaki akan kehilangan harga dirinya kalau dia nyentana? Jawabanku: tergantung bagaimana perlakuan keluarga istrimu nanti terhadapmu.”
“Maksudnya?”
“Maksudku, setelah kau menikah dan nyentana, dan istri serta keluarganya tetap menghormatimu dan menghargaimu selayaknya seorang suami dan kepala keluarga, yah… tentunya kau tidak akan kehilangan harga diri sebagai manusia,” jawab Diani panjang lebar.
“Tapi kenapa orangtuaku dan seluruh keluarga besarku berkata demikian?” tanya Bayu.
“Aku bisa memahami kekhawatiran orang tua dan keluarga besarmu. Itu karena mereka sayang kamu dan tidak ingin kau menderita batin di sana, seandainya kau diperlakukan kurang layak.”
“Apakah semua orang yang nyentana akan diperlakukan buruk dan dianggap rendah oleh istri dan keluarganya?” tanya Bayu lagi.
“Setahuku tidak, Bayu. Aku punya tetangga yang suaminya juga nyentana. Orang-orang bahkan tidak tahu kalau suaminya nyentana. Istrinya menghormati suaminya sebagaimana layaknya pasangan lain. Tidak ada yang berbeda, si suami bekerja normal sebagai pencari nafkah utama dan menjalankan fungsinya sebagai seorang kepala keluarga yang menghidupi anak istrinya.”
“Ohh…”
“Tapi, Bayu, aku juga punya seorang teman, dia putri tunggal dan akhirnya menikah dengan mencari sentana. Temanku ini sering cerita dan mengeluh bahwa suaminya sama sekali tidak bisa diandalkan, tidak mau tegteg bekerja, hanya bermalas-malasan dan menyerahkan semua urusan keluarga kepada istrinya, termasuk mencari nafkah. “
“Wah, kalau aku nyentana dijamin aku tidak akan bersikap begitu, Mbok.”
“Aku tahu dan aku percaya kau bukan orang seperti itu. Dari kasus temanku tadi, menurut temanku itu, karena sikap suaminya yang demikian menyebabkan dia tidak disukai oleh keluarga istrinya dan otomatis tidak dihargai dan dihormati.”
“Tapi Mbok, apakah suaminya bersikap demikian karena merasa tidak dihargai?” tanya Bayu.
“Nah, itu yang aku tidak tahu. Apakah si suami merasa tidak dihargai karena dianggap meraga luh, sehingga dia tertekan dan akhirnya bersikap: persetan dengan semuanya. Atau sebaliknya, apakah karena dia tidak punya tanggung jawab dan tidak menunjukkan dirinya sebagai seorang lelaki sehingga akibatnya dia tidak dihargai.”
“Jadi sebenarnya tergantung si lelaki ya, Mbok.”
“Betul. Menurutku juga demikian, kalau si lelaki bersikap dan menunjukkan dirinya pantas untuk dihormati dan dihargai, bertanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga, walaupun dia meraga luh tentu istri dan keluarganya akan menghargainya.”
“Tapi, bagaimana caranya menjelaskan semua ini kepada orangtuaku, Mbok?”
“Aku menduga orangtuamu tidak rela kehilangan dirimu, tidak rela anak-anakmu kelak lepas dari garis keturunan keluargamu sendiri. Aku pikir itulah yang dipermasalahkan, sedangkan dari pihak Alit sendiri justru menginginkan anak-anak kalian kelak, berada di garis keturunannya sebagai penerus klannya.”
“Aku bingung, Mbok. Kedua pihak orang tua kami tampaknya menginginkan kami putus.” Suara Bayu terdengar sedih di seberang sana. Diani sekalipun tidak melihat langsung wajah Bayu, dia bisa merasakan betapa bingung dan kacaunya perasaan lelaki itu memikirkan kekasih yang amat dicintainya. Diani merasa iba dan kasihan karena kedua belah pihak baik keluarga Bayu maupun keluarga Alit mempunyai syarat yang bertentangan untuk mereka bisa menikah.
Hari itu percakapan berakhir tanpa ada solusi. Diani tidak bisa membantu banyak.
Menjelang petang, ponselnya berdering lagi. Dari Bayu lagi.
“Haloo, Bayu….”
“Mbok, gimana kalau aku kawin lari saja?” Bayu berkata langsung tanpa basa-basi.
Diani tersenyum sendiri dan berniat menggodanya lagi. Sifat jahilnya kumat.
“Kawin lari? Trus… pelaksanaan upacaranya sambil lari juga? Trus… tamu-tamu undangan juga harus lari-lari mengejar pengantinnya??”
“Arrgghhhhhhhh!”
“Hahaha.”
“Aku serius, Mbok, please….” Bayu memohon.
Bayu telah mengenal sahabatnya ini sudah sangat lama. Dia salut dan kagum terhadap perempuan ini yang kelihatannya selalu ceria seolah-olah tidak ada masalah apa pun di dunia ini. Wajahnya tampak selalu tersenyum, seakan-akan semua persoalannya bisa terselesaikan hanya dengan senyuman. Di hari-hari biasa Bayu akan senang sekali meladeni guyonan dan candanya, karena dia merasa aura keceriaan Diani selalu berhasil membuatnya ikut ceria. Tapi kali ini berbeda, sekarang ini dia sedang mumet semumet-mumetnya, dan itu membuatnya agak sensitif.
“Baiklah, baiklah. Sekarang aku juga serius. Apa yang kau harapkan dengan kawin lari? Kau mau lari ke mana? Kalau kau yakin Alit mau mengikutimu dan lari dari rumahnya untuk menikah denganmu, maka kemungkinan kawin lari bisa dipertimbangkan. Orang tua Alit pasti akan mengejarmu dan berusaha merebut Alit kembali. Tapi kalau Alit menyatakan lari adalah atas keinginannya sendiri, Alit akan mendapat perlindungan adat di rumahmu dan bisa menikah dengan sah. Masalahnya, apakah Alit mau diajak lari?” kata Diani panjang lebar.
“Nah, itulah Mbok, Alit sendiri ragu meninggalkan orang tuanya.”
“Kalau begitu, tidak ada kemungkinan untuk kawin lari. Hapuskan itu dari pikiranmu. Lupakan.”
Diam. Tidak ada jawaban.
Beberapa menit kemudian.
“Mbok… jalan terakhir, gimana kalau aku…hm, aku… aku, aduh… gimana ngomongnya ya.” Suara Bayu terdengar ragu-ragu.
“Apa itu jalan terakhirnya?”
“Bagaimana seandainya aku membuatnya… haamil, sehingga aku bisa memaksa Alit untuk mau tidak mau lari dari rumahnya dan menikah denganku?”
“Hm, dengarlah… yakinkah kau bisa memaksanya? Aku sangat mengenal sifatmu, menurutku kau terlalu lembut untuk bisa main paksa. Salah-salah, kaulah yang akan kena paksa untuk menikahinya dan terpaksa nyentana, dan kau malah tidak bisa menolak karena merasa bersalah.”
“Huhuhu, kau benar Mbok. Kemungkinan besar itulah yang akan terjadi.”
“Nah, lalu? Berarti opsi itu tidak bisa dilakukan, bukan?”
Hening lagi. Diani tahu pikiran Bayu sedang berkecamuk.
“Bayu, pikiran kamu sedang kacau. Sebaiknya kau istirahat dulu, tenangkan pikiranmu supaya bisa berpikir jernih, besok kau harus kerja ‘kan? Aku juga mau istirahat dulu, OK?”
“Baiklah, Mbok. Good night.”
“G’nite.”
*****
Bayu dan Alit belum juga menemukan titik temu. Dia merasa semua jalan sudah tertutup, semua menyarankan mereka untuk mengakhiri hubungannya dengan Alit. Tapi apakah semudah itu berpisah dengan orang yang amat dicintainya? Dia merasa orangtua Alit begitu egois memaksakan kehendaknya kepada anaknya untuk mencari sentana. Bayu tidak tahu mesti berbuat apa, semua jalan sudah buntu. Rasanya dia ingin pergi dari dunia ini bersama kekasihnya, meninggalkan semua keruwetan hidup, semua aturan hidup dan tidak usah kembali lagi. Kalau Diani tahu dia punya pikiran seperti itu, dia pasti akan diomelin habis-habisan. Dia sudah hapal dengan kalimat-kalimat ‘sakti’ Diani: kau harus bersyukur terlahir sebagai manusia dan mendapat kesempatan untuk berbuat baik dan memperbaiki karmamu. Hanya karena masalah ini kau berniat merampas hidupmu sendiri? Kalau kau bunuh diri, apa yakin kau akan langsung mati? Syukur kalau langsung mati, setidaknya kau terhindar dari rasa malu. Tapi kalau setengah mati, setengah hidup, mati tidak, hidup juga tidak? Lalu menjadi bahan ejekan orang-orang karena gagal bunuh diri?
Bayu menghela napas. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Dia pasrah sudah. Dia menyerahkan semuanya kepada Tuhan, kalau memang dia berjodoh dengan Alit, nanti pasti akan ada jalan. Siapa tahu suatu saat Tuhan membukakan hati orangtua Alit.
*****
Catatan:
- Nyentana: si suami masuk ke dalam keluarga si istri dan mengikuti garis keluarga istri.
- Sentana: Seorang pria yang nyentana
- Meraga luh: mengambil peran perempuan (istri)
- Meraga muani: mengambil peran lelaki (suami)
- Nyeburin: menanggung dua kewajiban (baik di rumah suami ataupun di rumah istri)
- Tegteg: tekun