Akhirnya, selesai juga saya membaca novel The Lost Symbol ini yang sudah sangat lama saya inginkan, tetapi belum kesampaian karena ada pekerjaan yang lebih mendesak. Nah, begitu ada waktu saya langsung ‘melahapnya’. Novel setebal 712 halaman karya Dan Brown ketiga dengan tokoh Robert Langdon ini begitu memikat saya. Salah satu faktor yang membuat saya agak lama menyelesaikan membacanya karena saya berlama-lama menikmati setiap kata dan setiap kalimatnya. Bahkan kalau ada yang kurang saya pahami, saya akan membacanya berulang-ulang sampai benar-benar paham. Hal ini saya lakukan, di samping ingin menikmati ceritanya juga ingin mempelajari terjemahannya untuk menambah pengetahuan. Sebagai penerjemah yang baru memasuki dunia penerjemah secara profesional, saya menyadari harus banyak membaca karya-karya terjemahan untuk menambah wawasan dan memperkaya perbendaharaan kata.
Dari sekian ratus halaman itu, ada satu kata yang baru pertama kali saya jumpai yaitu “rampa”. Walaupun saya bisa memahami maknanya berdasarkan konteks secara keseluruhan, tapi saya tetap ingin tahu apa definisi “rampa” itu. Dan di Kateglo saya menemukan definisi lengkapnya, saya cek juga di KBBI Daring.
ram·pa n titian yg menghubungkan kapal dng dermaga.
Ah, nambah satu lagi kosakata saya.
Sama seperti ketika saya membaca Angels dan Demons, kemudian The Da Vinci Code, lalu The Lost Symbol ini yang merupakan sebuah trilogi, saya selalu terkesima dengan semua gambaran, setting yang begitu hidup dan mempesona. Saya membayangkan betapa riset yang dilakukan oleh Dan Brown untuk menciptakan novel trilogi ini. Hanya ada sedikti perbedaan yaitu, pada saat saya membaca dua novel terdahulu, saya tidak terlalu memperhatikan bahasanya, tetapi lebih fokus pada isinya karena pada saat itu saya belum mengenal Bahtera, belum menjadi anggota milis Bahtera dan belum mengenal seluk-beluk dunia penerjemahan. Tetapi saat ini beda. Setelah menjadi member milis Bahtera dan hampir setiap hari mengikuti diskusi di sana, saya jadi lebih ‘sensitif’ dengan bahasa.
Setiap membaca novel-novel terjemahan, saya belajar banyak. Terutama sekali saya memperhatikan kata-kata yang dicetak miring. Saya jadi belajar banyak, bahwa memang ada beberapa kata yang susah dicari padanannya dan dibiarkan saja dalam bahasa aslinya. Saya ingat, ketika menerjemahkan sebuah novel thriller detektif, ada beberapa istilah yang susah dicari padanannya dan saya biarkan tetap dalam bahasa aslinya, Memang, penerjemah disarankan semaksimal mungkin untuk tidak meninggalkan kata-kata dalam bahasa asing, tetapi kalau memang susah dicari padanannya, yah, terpaksa dibiarkan saja daripada dipaksakan diterjemahkan yang malah akan membuat hasil terjemahan jadi aneh.
Begitu besarnya ketertarikan saya akan novel ini dan keinginan untuk mempelajari penerjemahannya, setiap ada frasa baru yang kurang jelas, saya mencari kalimat aslinya di versi bahasa Inggris (saya mempunyai The Lost Symbol versi asli dalam format .pdf). Dan, saya benar-benar menikmati proses membaca novel ini.
Anonymous
November 30, -0001 @ 12:00 am
Halo Mas Anshar, Terima kasih sudah mampir ke blog saya, walaupun secara tidak sengaja 🙂 Bahtera adalah sebuah milis yang sebagian besar anggotanya para penerjemah dari berbagai belahan dunia. Sebuah komunitas tempat bertanya atau membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia penerjemahan dan bahasa. .Kemudian kata "penterjemah" yang baku sekarang adalah "penerjemah", Mas, sesuai dengan EYD dan KBBI. Sedangkan "peretas", kata ini memang sudah baku untuk padanan "hacker". Para penerjemah memang sedapat mungkin menggunakan kata-kata Bahasa Indonesia, selama padanannya sudah tersedia. Tetapi kalau memang tidak ada, baru deh kita mempertahankan kata dalam bahasa aslinya dan dicetak miring. Alasannya, kalau bukan kita sendiri yang mengembangkan dan menjaga Bahasa Indonesia, siapa lagi? :-)Terima kasih, salam kenal juga.