Lembur Yang Tak Terelakkan
Lama tak sempat menengok blog ini karena beberapa kesibukan yang tidak bisa ditunda. Kangen juga ngeblog lagi. Saya baru sembuh dari flu yang syukurnya tidak parah seperti dua tahun lalu. Kali ini saya hanya flu satu hari satu malam, tapi itu cukup mengganggu aktivitas saya. Walaupun demikian saya tetap bersyukur dan merasa Tuhan begitu berbaik hati memberikan saya flu tepat setelah semua deadline terpenuhi.
Sebenarnya hari Minggu itu deadline saya hanya satu dan saya yakin bisa menyelesaikannya sebelum tengah malam karena tinggal memeriksa lagi sekali. Sedangkan yang lainnya tidak terlalu mendesak. Tetapi siapa sangka malamnya, kira-kira pukul setengah delapan, klien lama saya, seorang pengacara, datang dan (seperti biasa), minta tolong dengan amat sangat untuk mengedit sebuah pledoi pembelaan yang akan digunakan keesokan paginya. Sidangnya sendiri akan dimulai pukul delapan pagi. Lalu kapan saya harus bekerja? Sementara terjemahan saya yang deadline-nya tengah malam ini belum selesai saya edit.
Saya berusaha menolak dengan halus, tapi… dengan wajah memohon penuh permintaan tolong, mana bisa saya menolak? Akhirnya, karena tidak ada pilihan lain saya pun menerimanya dengan diiringi ucapan terima kasih yang bertubi-tubi. Pembayaran langsung dilunasi saat itu juga.
Saya harus menyelesaikan terjemahan ini dulu. Menjelang tengah malam saya menyelesaikan terjemahan tersebut dan langsung mengirimkannya via email. Setelah itu saya mulai mengerjakan pledoi ini. Sudah ada sinyal dari tubuh saya, minta diistirahatkan. Mata berat, kepala sedikit pusing. Mestinya harus segera dibawa tidur, tetapi itu tidak mungkin. Saya sudah janji. Dengan mengumpulkan segenap konsentrasi dan dengan mengabaikan isyarat dari tubuh, pelan-pelan saya mengedit pledoi tersebut, tidak boleh ada kesalahan, karena tidak akan ada waktu lagi untuk memperbaikinya. Sidang dimulai jam depalan pagi. Begitu pesan si Bapak Pengacara tadi dengan nada minta maaf, sebelum berpamitan. Hampir pukul tiga subuh, pekerjaan selesai. Lega.
Pukul tiga saya baru bisa tidur, esok paginya badan mulai terasa tidak enak, tapi masih saya abaikan. Saya menjalani rutinitas rumah tangga seperti biasa. Akhirnya, kira-kira pukul dua belas siang sepulang dari menjemput anak les, pertahanan tubuh ini ambruk juga. Sepanjang siang sampai malam saya meringkuk di tempat tidur, anak saya yang sangat khawatir kalau saya sakit, sibuk melayani apa pun yang saya minta. Saya dibuatkan bubur dan teh hangat dengan perasan jeruk lemon, bergelas-gelas. Bubur dan teh itu sangat membantu karena tenggorokan saya sakit. Gawat, gejala pancingan. Saya tidak minum obat, karena saya tahu sakit ini hanya akibat dari kecapekan. Saya memang hampir tidak pernah minum obat. Dalam setahun belum tentu saya minum obat sekali. Kalau pun mesti minum obat, saya pilih yang herbal. Kali ini saya yakin dengan istirahat penuh tanpa obat pun saya akan sembuh. Saya minum VCO (Virgin Coconut Oil) dan vitamin C, di samping diminum saya juga menggunakan VCO untuk membaluri seluruh tubuh karena kasiatnya yang mampu menurunkan suhu tubuh dari luar.
Untuk gejala pancingan saya menggunakan resep turun temurun dari Ibu saya yaitu segenggam daun katu setelah dicuci bersih remas-remas dalam segelas air minum + ati bawang, kemudian disaring dan langsung diminum. Baru minum dua kali gejala pancingan saya menghilang.
Syukurlah, hari ketiga saya sudah bisa beraktivitas normal lagi. Senin sakit, Rabu sudah pulih hampir 100%. Suhu tubuh normal, pusing kepala lenyap dan tenaga saya pulih seperti sedia kala. Tuhan sungguh baik, sekalipun saya harus sakit, tapi Tuhan mengizinkan saya untuk menyelesaikan semua “hutang-hutang” saya terlebih dahulu sebelum jatuh sakit. 🙂