Lagi dan Lagi…
Kejadian seperti ini terjadi lagi, lagi dan lagi, tampaknya saya akan selalu mengalaminya.
Beberapa hari yang lalu, menjelang sore, seorang ibu (mantan murid privat saya), muncul di rumah saya dengan wajah lelah. Melihat wajahnya, saya sudah feeling, pasti saya akan ditodong untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat saya tolak.
Benar saja. Dengan wajah memelas, dia menceritakan masalahnya. Ibu ini seorang guru SD yang kuliah lagi dan baru saja lulus ujian skripsi. Untuk bisa ikut wisuda, dia harus melengkapi semua pesyaratan yang ditentukan. Saat itulah dia baru sadar, nilai SKS-nya kurang. Oleh dosen mata kuliah tersebut dia diberikan solusi untuk mengikuti semester pendek, untuk bisa memenuhi kekurangan SKS-nya. Salah satu tugas kuliah semester pendek itu adalah menerjemahkan sebuah jurnal kemudian membuat resume.
Di sinilah masalahnya. Dia perlu bantuan menerjemahkan jurnal tersebut agar bisa membuat resumenya. Untuk itulah dia datang dan minta bantuan saya. Kalau saja waktu yang diberikan cukup lama, tentu tidak masalah bagi saya. Dia datang menjelang sore, dan resumenya harus dikumpul esok sorenya (dia kuliah sore). Tentu saja saya langsung menolak, mengingat pekerjaan saya yang juga sudah mepet-mepet deadline. Dan… seperti biasa juga, ibu ini mulai berkata-kata yang membuat saya “lemah.” ”Kalau Ibu tidak membantu saya, berarti… saya tidak bisa ikut wisuda periode ini, berarti juga saya harus mengulang satu semester. Artinya, saya harus membayar SPP lagi, artinya….dsb.”
Saya berusaha memberi penjelasan, sehalus mungkin, bahwa menerjemahkan jurnal ilmiah sebanyak 10425 kata bukanlah perkara gampang, tidak akan bisa selesai dalam waktu sekejap. Wajahnya makin memelas dan memohon dengan amat sangat. Akhirnya, hati saya runtuh juga. Saya tidak punya pilihan lain. Dengan menarik napas panjaaaaaaaaaang banget, saya akhirnya menyanggupinya. Tapi saya juga mengatakan bahwa hasil terjemahan saya kemungkinan tidak akan sempurna. Sore itu saya mulai bekerja dengan terlebih dahulu menghubungi murid privat saya yang mestinya ada jadwal les malam itu. Untunglah si murid penuh pengertian.
Saya juga minta bantuan adik saya untuk membantu sebagian, karena mustahil saya bisa menerjemahkan dalam sehari semalam sekian kata. Saya hampir tidak tidur mengerjakan jurnal tersebut. Akhirnya, selesai juga. Esok sorenya ibu itu datang, dan dengan terus terang saya bilang bahwa saya tidak sempat ngedit lagi. Tidak ada waktu. Ibu tersebut tidak mempermasalahkan, yang penting dia bisa membuat resume dari hasil terjemahan itu.
Dan… berapa saya dibayar? Mestinya, untuk rush job seperti itu, saya dibayar lebih mahal, bukan? Iya, saya dibayar dengan bayaran yang amat “mahal”, beribu-ribu terima kasih plus doa semoga Tuhan senantiasa melindungi saya dan membalas kebaikan saya, plus uang seratus ribu.
Saya ikhlas. Apalagi saya tahu terjemahan itu bukanlah untuk kepentingan bisnis, dan, saya juga tahu kehidupan ibu itu yang cukup sederhana. Walaupun saya juga tak kalah sederhana.
Tapi, di atas segalanya, meskipun capek, saya juga senang bisa membantu orang yang benar-benar membutuhkan bantuan.