Sebenarnya saya sangat ingin menulis novel. Tetapi nyatanya saya tidak pernah memulai. Ide sudah ada di kepala, hanya saja tidak tahu harus mulai dari mana. Saya sempat menulis beberapa cerpen yang masih tersimpan rapi di hard disk komputer saya. Semua cerpen itu terinspirasi dari kejadian di sekitar saya, atau pun dari cerita dan pengalaman teman-teman. Membuat novel pastilah lebih sulit daripada membuat cerpen, karena yaa…cerpen lebih pendek tentu saja :-). Sedangkan untuk membuat novel, di samping harus memiliki kemampuan menulis juga sedikit banyak harus melakukan riset yang berhubungan dengan cerita dalam novel.Saya baru saja selesai membaca novel yang setting-nya di Bali dengan tokoh-tokoh utamanya adalah orang-orang Bali. Saya menikmati novel ini dan menyukai bahasanya yang ringan, bersahaja dan mengalir begitu saja. Membumi. Tetapi ada yang agak mengganggu saya, yaitu tentang latar belakang tokoh utamanya. Di awal-awal disebutkan bahwa sang tokoh ini adalah seorang suami yang sarjana sastra dan sang istri yang sarjana ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh dialog suami istri tersebut:
“Kita berdua sarjana, kau sarjana sastra dan aku sarjana ekonomi…bla…bla…bla.”Kemudian di halaman pertengahan ada percakapan lagi antara pasangan tersebut:
Istri: “Jangan bicara ilmu tata bahasa mentang-mentang kau jurusan Sastra Indonesia. Kagak tamat aja belagu, uh!”
Suami menjawab: “Tidak tamat tapi cerdik pandai.”Dari sini terlihat ada ketidakkonsistenan tokoh ‘suami’ tersebut. Ternyata tokoh ‘suami’ itu belum tamat yang berarti seharusnya dia belum sarjana.
Kemudian di halaman lain, salah satu tokohnya yaitu seorang gadis ningrat yang cantik dipanggil dengan nama panggilan ‘Gung Geg’. Tetapi, di pertengahan novel ada percakapan yang diucapkan oleh tokoh gadis cantik ini, sebagai berikut:
“Aku sering tidak mengerti dengan segala tetek bengek yang ada di dalam keluarga besarku sebagai keluarga berkasta Brahmana.”Di sini saya melihat ada yang tidak sinkron. Di Bali ‘Gung Geg’ adalah nama panggilan untuk seorang gadis yang berasal dari kasta/Wangsa Ksatrya (dari Catur Wangsa). Wangsa ini pada umumnya namanya diawali dengan Anak Agung/Anak Agung Ayu/Anak Agung Istri, Cokorda/Cokorda Istri, Dewa/Dewa Ayu/Desak, I Gusti Agung/I Gusti Ngurah, dan ada lagi beberapa yang lainnya. Sedangkan Wangsa Brahmana pada umumnya namanya diawali dengan Ida/Ida Bagus/Ida Ayu. Dan panggilan untuk gadis dari Wangsa Brahmana adalah ‘Dayu Geg’ atau ‘Dayu’ saja. (Di sini saya tidak membahas sistem kasta/wangsa, tetapi hanya menyatakan bahwa sistem nama/gelar tersebut masih dipakai dalam masyarakat Bali).
Jadi, kalau nama panggilannya ‘Gung Geg’, maka bisa dipastikan gadis tersebut bukanlah dari Wangsa Brahmana, tetapi dari Wangsa Ksatrya. Saya melihat ada ketidakkonsistenan lagi dalam penokohan di novel ini. Saya tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, sama sekali tidak (Lagi pula, siapa sih saya, mencari-cari kesalahan orang? 🙂 Saya hanyalah penikmat novel). Saya pun tidak sengaja dan tidak bermaksud mencari-cari ketidakkonsistenan ini. Mungkin hanya kebiasaan saja, setiap membaca buku atau novel, nama-nama dan karakter tokohnya langsung melekat di memori saya. Seperti tokoh ‘suami’ tadi, informasi pertama yang diterima oleh otak saya adalah, si suami itu seorang sarjana. Tetapi, begitu ada informasi lain yang bertentangan dengan informasi pertama, ingatan saya langsung ‘protes’. Tanpa sadar, saya mencari data informasi yang pertama untuk mencocokkan dengan informasi yang kedua. Begitu juga tokoh ‘Gung Geg’ itu. Informasi yang sudah masuk duluan ke dalam memori saya adalah ‘Gung Geg’ ini dari Wangsa Ksatrya. Tetapi begitu disebutkan bahwa tokoh itu adalah dari Wangsa Brahmana, maka ingatan saya pun ‘protes’ untuk yang kedua kalinya.
Hal ini menjadi catatan bagi saya bahwa mengarang novel bukanlah perkara gampang. Di samping ide, ada banyak hal yang harus diperhitungkan dan sedikit banyak harus melakukan penelitian juga. Saya selalu salut dengan seseorang yang mampu mengarang novel. Bayangkan, mereka seperti tidak kehabisan kata menyusun sekian ribu atau puluhan ribu kata hingga terbentuklah sebuah novel yang mampu menarik perhatian pembaca.
Terlepas dari ketidakkonsistenan tersebut di atas, novel ini cukup menghibur dan terutama sekali memberikan saya pelajaran bahwa pengarang harus memperhatikan dengan cermat semua tokoh yang digambarkannya agar tetap konsisten dari awal sampai akhir (Siapa tahu kelak, saya benar-benar kesampaian menulis sebuah novel) 🙂