I am a human. Not a number. Not a digit
Menentukan rate terjemahan untuk seorang teman ternyata bukanlah perkara mudah. Butuh “kekuatan” besar, bahkan sebagian orang (baca: penerjemah) tidak sanggup melakukannya. 😀
Suatu hari seorang teman bertanya apakah punya teman yang biasa menerjemahkan untuk pasangan Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia. Dia ingin tahu berapa rate untuk pasangan bahasa tersebut. Saya ingat seorang teman penerjemah yang mempunyai agensi dan juga menerima pasangan bahasa itu selain Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris. Terjadilah percakapan sebagai berikut.
Saya : “Mas, berapa rate untuk terjemahan dari Bhs Jawa ke Bahasa Indonesia?”
AA : “Bahasa Jawa apa, Mbak? Apakah aksaranya atau Jawa tulisan biasa, atau… Jawa apa?”
Saya : “Latin, Mas.”
AA : “Bahasa Jawa Madya, Ngoko atau apa?”
Saya : “Madya.”
AA : “Jumlah katanya berapa, Mbak?”
Saya : “Jumlah katanya belum tahu, Mas. Dia baru nanya rate aja dulu, katanya supaya ada bayangan harga.”
AA : “Saya sama temen sendiri susah sih bilangnya. Hahahaha. Gini aja deh, Mbak. Saya cuma butuh jumlah kata + budget-nya berapa. That’s all. Saya susah bikin rate buat temen.”
Saya : “Jangan gitu dong, Mas. Ini bukan buat saya pribadi, tapi orang lain. Nanti kalau untuk saya sendiri, gratis juga boleh” 😛
AA : “Jiaaah!”
Saya : “Standar rate aja, Mas.”
AA : “Waduh, sudah dibilangi Mbak Yu ini.” (Tetap bersikeras tidak mau menyebut angka)
Saya : “Lha, saya mesti bilang apa ama si temen itu?”
AA : “Hehehe. Bilang aja gitu. Asli saya ini orangnya ngga enakan masalah rate, Mbak. Kecuali sama bule, saya paling kenceng.”
Saya : “Ini bukan untuk saya, tapi teman saya.” (Saya berusaha membujuk dan menekankan sekali lagi)
Mas : “Lha, teman Mbak Desak kan seorang teman juga.”
Saya : Walah, Dimas ini, tampaknya saya tidak berhasil membujuk dikau untuk menyebut sebuah angka.” (Saya menyerah dan misi pun gagal).
AA : “Betul. I am a human. Not a number. Not a digit.” (LOL!)
Saya : “Hihihi. Sutralah kalau begitu. Saya akan sampaikan jawaban Mas tadi.”
Siapakah AA ini? Tiada lain tiada bukan Mas Ahnan Alex yang dikenal luas sebagai seorang penerjemah yang rendah hati.
Terbukti bahwa sangat tidak mudah menentukan rate untuk teman, bukan? 😀
Saya mengerti dan sangat memahami “kesulitan” yang dirasakan AA dalam menentukan rate untuk temannya, karena saya sendiri sering mengalami. Di luar novel, klien saya kebanyakan teman sendiri atau teman dekat suami yang sudah biasa berkunjung ke rumah untuk sekedar ngobrol-ngobrol. Saya selalu merasa tidak enak hati setiap menyebutkan harga yang sebenarnya. Barangkali kasihan melihat wajah saya yang tampak gundah-gulana, sampai-sampai salah seorang di antara mereka berkata: “Bu Agung, jangan sungkan-sungkan, buatkan saya nota berapa mestinya saya bayar.” (Karena suami saya bernama Agung, teman-teman suami biasa memanggil saya ‘Bu Agung.’)
Tetapi tetap saja sungkan saya tidak hilang, buntut-buntutnya, saya selalu memberikan harga spesial padahal mereka tidak pernah menawar. Bukannya tidak butuh uang, siapa sih yang tidak butuh uang? Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang, bukan? 😉 Masalahnya, bagaimana caranya menghilangkan perasaan “tidak enak hati” ini? Susah juga kalau perasaan ikut “bermain” dalam bisnis. Anak saya pernah bilang: “Kalau gini halnya, ibu ngga akan pernah kaya.” 😀