Bak Phlebotomist sejati (2)
Saya baru saja selesai ngedit terjemahan ketika anak saya pulang dari kuliahnya. Niatnya mau istirahat sejenak.
“Ayo, Bu, Ajung ambil darahnya sekarang,” katanya tiba-tiba.
Akhirnya, sore ini tibalah saatnya saya menjadi ‘korban’ suntik anak saya, untuk mempratikkan mata kuliah Phleboitomi. Sudah dari beberapa hari sebenarnya saya diincar, tapi ada saja yang membuat gagal. Sampai-sampai dia berkata: “Wah, Ibu selamat terus nih dari suntikannya Ajung, ada aja yang bikin batal.”
Saya jawab: “Yang penting kan bukan Ibu yang membatalkan, kalau Ibu sih selalu siap setiap saat.” Saya menjawab dengan gagah berani.
Sore tadi baru pulang kuliah dan belum ganti baju dia sudah ‘nguber’ saya.
“Ayo, Bu, sekarang aja disuntik.”
“Sekarang?”
“Iya, sekarang. Kenapa, Ibu takut?”
“Takut?? Tentu saja tidak! Tapi kalau abis disuntik Ibu langsung bisa ngetik, ngga ya? Kerjaan Ibu masih banyak nih.” (Mencoba ngeles)
“Tentu saja bisa, jangan lebay, ah. Ngga ada hubungannya itu.”
“Yah, siapa tahu aja tangannya jadi sakit.”
“Ajung aja abis diambil darahnya langsung bisa nulis tangan, berlembar-lembar pula, ngga ngaruh tuh.”
“Oh, gitu.”
Dia pun menyiapkan semua peralatannya dari jarum suntik, kapas beralkohol, tabung untuk penyimpanan darah dan tali pengikat untuk lengan (entah apa namanya itu).
Dia meletakkan semua peralatan tersebut di atas meja. Saya ambil dan amati satu persatu alat-alat tersebut dengan saksama.
“Ibu lihatin dan perhatiin aja dulu alat-alat itu, biar terbiasa. Pasti ngga akan takut.” Tiba-tiba dia nyeletuk.
Saya tidak menjawab walau sempat terbersit rasa gentar (tapi sedikiiiit). Sempat mau mundur, tapi malu hati. Wong kemarin-kemarin bilang siap dengan gagah berani, masa sekarang tiba-tiba mundur.
Beberapa saat kemudian dia meraih tangan kanan saya, memperhatikan pembuluh vena di sana, lalu mengikat lengan bagian atas kira-kira tiga jari di atas siku.
Tadinya saya ingin melihat langsung saat-saat jarum suntik itu disuntikkan ke pembuluh darah, ternyata saya tidak punya keberanian. Saya pun memalingkan wajah ke kiri, sementara dia menyuntikkan jarumnya. Terasa sakit sedikit.
“Ibu bernapas dengan biasa aja ya, jangan menahan napas. Kalau Ibu tahan napas, aliran darahnya ngga bagus ntar.”
“Iyaa, Ibu udah napas biasa, kok.”
Tidak berapa lama, saya merasa dia mengoleskan alkohol di sana.
“Lho, sudah selesai?”
“Sudah, nih darahnya.” Dia menunjukkan darah dalam sebuah tabung kaca kecil.
“Kok ngga terasa, ya?”
“Ngga sakit?”
“Ngga.”
“Ibu ngga merasa semutan atau apa gitu?”
“Ngga.”
“Hm, itu artinya Ajung pinter ngambil darahnya.” (Sambil nyengir puas).
“Oh, gitu yaa.”
Sungguh, ini untuk pertama kalinya saya diambil darahnya. Selama ini saya tak pernah mengalami sesuatu yang mengharuskan saya untuk diambil darahnya (semoga saja tidak akan). Sekalinya diambil darahnya, malah untuk praktik, oleh anak pula. 😀